Mari kita berbicara tentang sebuah fenomena yang banyak kita temui dalam masyarakat kita, yaitu seseorang yang tampak sangat rajin mengikuti tahlilan namun cenderung lalai dalam menjalankan shalat. Apakah ini hanya disebabkan oleh rasa malas? Atau ada hal lain yang perlu kita selidiki lebih lanjut? Dalam artikel ini, penulis mencoba menguraikan sedikit tentang fenomena ini.
Memahami tahlilan
Secara Bahasa, tahlilan merupakan serapan dari Bahasa arab yaitu kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) yang artinya adalah membaca kalimat tauhid “ la ilaha illallah”. Dalam KBBI tahlilan didefinisikan sebagai pembacaan ayat-ayat suci Al-Qu’an untuk memohon rahmat dan ampunan bagi orang yang meninggal dunia
Pada perkembangannya tahlilan menjadi istilah sebuah tradisi berkumpul untuk membaca wirid dan doa-doa tertentu yang diambil dari ayat Al-Quran, yang mana pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia. Tradisi ini tidak dapat dipisahkan dari masyarakat muslim Indonesia, khususnya warga Nahdliyyin.
Bacaan kalimat thayyibah serta ayat-ayat Al-Quran yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama boleh dan sunnah, yang mana pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Diantara dalil yang membenarkan hal tersebut yaitu hadis nabi yang berbunyi:
عَنْ سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ :” يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ”(رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدَ)
“Dari sahabat ma’qil bin Yasar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : surah Yasin adalah Qalb (hati) Al-Quran, tidak dibaca oeh seseorang yang menginginkan ridha allah ﷻ kecuali diampuni dosa-dosanya. Bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian.” (H.R. Abu Dawud).
Shalat, di sisi lain, adalah salah satu rukun islam yang tidak bisa diabaikan. Sebagai rukun islam yang kedua, shalat merupakan kewajiban yang mendasar bagi kita sebagai orang islam. Setiap muslim diwajibkan melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari. Shalat bukan hanya sekadar kewajiban, tetapi juga merupakan bentuk pengabdian dan penghambaan kita kepada allah ﷻ yang mana hal ini adalah tujuan diciptakannya manusia. Allah ﷻ berfirman :
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Tidaklah jin dan manusia diciptakan melainkan hanya untuk menyembah-Ku”. (Q.S Adz-dzariyat:56).
Menyadari ketidakseimbangan
Lantas bagaimanakah jika terjadi fenomena yang mana seseorang terjerat gejala lebih semangat dan berambisi mengikuti tahlilan yang hukumnya sunnah daripada shalat yang hukumnya wajib? Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam nya menuturkan :
مِنْ عَلامَةِ اتِّبَاعِ الْهَوَى المُسَارَعَةُ إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ وَالتَّكَاسُلُ عَنِ القِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ
“sebagian tanda dari menuruti hawa nafsu; semangat mengerjakan amal kebaikan sunnah dan enggan mengerjakan yang wajib”.[1]
Ketika semangat mengerjakan amalan sunnah jauh lebih besar daripada yang wajib, maka sesungguhnya si pelaku sedang menunaikan kepuasan hawa nafsu belaka, dan tertipu oleh bisikan-bisikan samar dari setan. Hal ini disebabkan amalan sunnah lebih ringan dikerjakan menurut hawa nafsu ketimbang yang wajib, karena biasanya, tidak ada keistimewaan tertentu dalam pelaksanaan ibadah wajib yang juga dikerjakan oleh semua orang.
Bedahalnya dengan amalan sunnah yang tidak semua orang mengerjakannya. Dengan rajin mengerjakan amalan sunnah seperti tahlilan, maka akan mendapatkan keistimewaan tertentu seperti rasa hormat dari masyarakat sekitar, kedudukan dan pujian dari orang lain. Fenomena seperti ini terjadi disebabkan tidak ada usaha menyibukkan diri dengan riyadhatun nufus atau melawan hawa nafsu yang menipu, dan tidak berusaha mengekang keinginan syahwat yang membelenggu.
Ketika kita sebagai muslim mengerjakan ibadah hanya karena mengharap ridha Allah ﷻ, maka kita sadar dan mengerti mana ibadah yang harus diutamakan terlebih dahulu dan mana yang sifatnya sebagai pelengkap atau penyempurna. Maka sebagai dampaknya, kita mengerjakan ibadah wajib dan sunnah tidak berfokus pada pujian dan penilaian orang lain, sebab yang demikian tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan ridha-Nya ﷻ.
Alangkah indah jika tetap memprioritaskan shalat yang hukumnya wajib, ketimbang tahlilan yang hukumnya sunnah dan tidak wajib. Bukan hanya indah, tetapi sikap demikian mencerminkan kewarasan dan juga merupakan satu langkah cerdas agar kita tidak menjadi orang yang tertipu. Membangun kesadaran diri dengan pikiran jernih dalam hal ini adalah solusi paling jitu. Wallahu a’lam.
Moch. Muzakki Zen | AnnajahSidogiri.id
[1] Syarh al-hikam al-athaiyyah. Hal. 98 cet. Sidogiri penerbit.