Sudah mentradisi di kalangan masyarakat, status Islam dan iman hanya dijadikan pelengkap identitas agama saja. Mereka kadang berislam bukan karena ikrar atau keyakinan dalam hatinya, tapi karena ikut-ikutan garis keturunan. Tidak heran, masyarakat yang memang minim ilmu agama terlalu percaya diri mengaku beriman, padahal tidak faham bahkan tidak pernah tahu hakikat iman. Mereka mencukupkan iman sekadar percaya dan sesuatu pembenaran, meskipun tingkah laku mereka tidak mencerminkan indahnya keimanan. Klaim semacam ini pun melahirkan sebuah pertanyaan. Apakah cukup beriman dengan tashdiq saja tanpa disertai dengan amal, atau iman dan amal itu adalah dua elemen yang saling mengikat dan tak terpisahkan. Menyikapi fenomena di atas. Berikut wawancara Ali Abdillah dari Buletin Tauiyah kepada Ust. Qusyairi Ismail beberapa waktu lalu.
Apakah iman bisa bertambah jika melakukan amal kebaikan dan bisa berkurang jika melalaikannya?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Pendapat yang masyhur mengatakan bahwa imannya manusia bisa bertambah dan bisa berkurang. Iman ketika diklasifikasi, ada tiga bagian. Pertama, iman yang bertambah saja tanpa bisa berkurang, yaitu imannya para Nabi. Kedua, iman yang tetap, tidak bertambah dan tidak berkurang, yaitu imannya para malaikat. Ketiga, iman yang bisa bertambah dan bisa berkurang, yaitu imannya manusia biasa secara umum. Ada ulama lagi yang menambah pembagian iman, yaitu iman yang terus berkurang tanpa bisa bertambah, yakni imannya orang fasik. Bertambah dan berkurangnya iman, tentu tergantung amal perbuatan. Versi ulama yang mengatakan bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang, dalilnya banyak. Di antaranya adalah,
وَاِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ اٰيٰتُهٗ زَادَتۡهُمۡ اِيۡمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُوۡنَ.
“Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal” (QS. al-Anfal [08]; 2)
Namun ada juga ulama seperti Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman tidak bisa bertambah dan berkurang. Menurut beliau, iman itu adalah keyakinan. Sebetulnya perbedaan ini berujung dari segi lafal saja. Imam Fakhruddin ar-Razi dan Imam Haramain menanggapi khilaf kedua ini dengan menyatakan,
لَيْسَ الخِلَافُ بَيْنَ الْفَرِيْقَيْنِ حَقِيقِيَانِ بَلْ لَفْظِيَانِ
“Khilaf keduanya berkisar di lafadz saja, tidak sampai kepada hakikatnya”.
Jadi bisa digabung dari kedua pendapat ini bahwa khilaf di atas diarahkan kepada kesempurnaan iman.
Baca Juga : Kufur Berkedok Iman Level Pro
Jika demikian, bolehkah kita menyandangkan status fasik bahkan kafir bila mereka mengaku iman tapi melalaikan amal kebaikan, bahkan kewajiban dari rukun Islam?
Di keyakinan kita, perbuatan dosa besar tidak sampai menghapus iman kecuali apabila sampai menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara halal, atau tidak meyakini wajibnya shalat, atau tidak meyakini kewajiban zakat yang telah mujma’ alaih. Orang yang tetap yakin, tapi tidak beramal, maka tetap dikatakan mukmin. Sedangkan nasibnya terserah kehendak Allah ﷻ, selama orang tersebut tidak syirik kepada Allah ﷻ. Hanya saja, orang yang tidak mengerjakan amal shalih keimanannya akan terus berkurang sampai tipis. Dalam keadaan demikian orang itu dikhawatirkan mati su’ul khatimah.
Namun meskipun begitu, bukan berarti dia itu kafir. Kalau mengatakan orang yang berbuat dosa besar itu kafir atau mengatakan asalkan orang itu beriman boleh melakukan dosa apa saja, itu bukan ajaran Ahlusunah wal Jamaah. Pendapat Ahlusunah adalah sekali orang itu beriman, maka dia akan tetap terus iman. Dosa yang dilakukan, meski berupa dosa besar, tidak sampai menjadikan pelakunya kafir. Tapi bukan berarti dia itu tidak selamat dari siksa Allah ﷻ, walaupun tidak kekal di neraka. Sekian.
Ali Abdillah | Annajahsidogiri.id