Potret-memotret merupakan sesuatu yang paling digandrungi oleh semua orang terutama kalangan remaja. Kemanapun mereka pergi, kamera selalu menemani. Bahkan tidak jarang ditemukan seorang yang rela melakukan sesuatu yang berbahaya dan bahkan nyawa taruhannya hanya demi hasil sebuah jepretan. “Tidak ada momen tanpa sebuah kamera”, ungkapan ini yang sering mereka lontarkan. Mereka tidak tahu, apakah tindakan mereka dibenarkan atau malah dilarang oleh syari’at sebagaimana melukis.
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Tanda-tanda Haji Mabrur
Adapun gambar yang dihasilkan oleh sebuah kamera, tidak ditemukan dalam kitab-kitab salaf. Demikan tersebut karena pada saat itu kamera belum ditemukan, dan baru ditemukan pada abad ke-16 dan berkembang dua abad kemudian. Akan tetapi, banyak ulama kontemporer yang berfatwa mengenai gambar hasil kamera.
Baca Juga: Hukum Selamatan Dari Harta Tirkah
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum gambar yang dihasilkan sebuah kamera. Perbedaan ini bermuara apakah hasil foto sama dengan hasil lukisan. Mufti mesir tempo dulu
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً
, Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i dalam risalah yang berjudul Al-Jawâb al-Kâfî fî
“Allah U berfirman, “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Maka ciptakanlah nyamuk atau semut kecil (jika mereka memang mampu)”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hambal)
Ada beberapa ulama yang mempunyai pendapat senada, seperti Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki dalam risalahnya, Syekh Muhammad Ali as-Sayis, Syekh al-‘Allamah Hasanain Muhammad Makhluf dala Tafsîr Ayâtul Ahkâm.
Baca juga: Legalitas Hukum Aborsi; Menyoal PP tentang Kesehatan Reproduksi
Akan tetapi, ada beberapa ulama yang mengharamkannya dengan alasan kehati-hatian, seperti Syekh Mustofa Abu Saif al-Hamami dalam kitab an-Nahdhah al-Ishlâhiyah, Syekh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi dalam kitabnya yang bernama Fiqhu as-Sirah dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dalam kitabnya Rudud ‘ala Abâthil dan Tafsîr Ayâtul Ahkâm li ash-Shâbuni. Wallahu A’lam
AnnajahSidogiri.id