Sifat baladah adalah antonim dari sifat fathanah. Baladah memiliki arti bodoh atau kebodohan. Jika para rasul wajib bersifat sidiq (jujur) maka para rasul mustahil bersifat kidzib. Jika para rasul wajib bersifat amanah maka para rasul mustahil bersifat khianat. Jika para rasul wajib bersifat tabligh maka para rasul mustahil bersifat kitman. Namun, jika para rasul wajib bersifat fathanah apakah mustahil bersifat baladah? Berdasarkan kisah-kisah para rasul terdahulu dan nash-nash dalam Al-Quran, para rasul sangat mustahil bersifat baladah.
Pada zaman Nabi Ibrahim banyak patung berhala yang ditegakkan. Saat itu Nabi Ibrahim masih berusia remaja. Nabi Ibrahim menghancurkan semua patung berhala, kecuali satu patung berhala. Patung berhala yang tidak dihancurkan oleh nabi Ibrahim adalah patung yang berukuran paling besar. Semua penyembah berhala terkagum-kagum padanya. Nabi Ibrahim memberi alasan yang sangat logis dengan ucapannya, Yaitu; “mengapa kalian menyembah patung, padahal patung tersebut tidak bisa menolak bahaya pada dirinya, apalagi menolak bahaya pada selainnya”.
Dalam kisah lain, seringkali Raja Namrud kehabisan akal ketika berdebat dengan Nabi ibrahim. Sebab, sekali Raja Namrud membantah ajakan Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim memberi logika yang sangat mengena[1]. Hal ini sesuai firman Allahﷻ dalam Al-Quran;
(الأنبياء(21):51) وَلَقَدْ اٰتَيْنَآ اِبْرٰهِيْمَ رُشْدَهٗ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهٖ عٰلِمِيْنَ
“Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah kami berikan kepada Ibrahim petunjuk, dan kami telah mengetahui dia” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 51)
Baca Juga: Kemustahilan bagi para Rasul
Bukan hanya Nabi Ibrahim, Nabi Nuh pun juga begitu. Ketika kaumnya menolak ajakan Nabi Nuh, beliau membantahnya dengan hujjah. Dalam Al-Quran disebutkan;
قَالُوْا يٰنُوْحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَاَ كْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ (هود(11):32)
Mereka berkata “Wahai Nuh! Sungguh, engkau telah berbantah dengan kami, dan engkau telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang engkau ancaman” (QS. Hud [11]:32)
Banyak dijelaskan dalam Al-Quran bahwa ketika para rasul dibantah oleh kaumnya, para rasul menopang bantahan tersebut dengan hujjah yang sangat argumentatif. Andaikan para rasul bersifat baladah, niscaya mereka tidak akan bisa menegakkan hujjah. Karena hujjah hanya bisa ditegakkan oleh orang yang cerdas (fathanah). Allahﷻ berfirman;
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ (النحل(16):125)
“Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. An-Nahl [16]:125)
Imam Ahmad bin Muhammad ash-Shawi dalam kitabnya yang bertajuk Hasyiah as-Shawi menyebutkan, bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah membantah mereka dengan lemah lembut dan asas yang sangat kuat.
Dengan demikian, tidak ada satupun rasul yang bersifat baladah, sebab jika bersifat baladah mereka tidak akan mampu menegakkan hujjah untuk membantah musuhnya. Dan lagi, jika kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk para rasul, mana mungkin kita diperintah untuk mengikuti orang yang bersifat baladah?[2]
Fakhrul Islam | annajahsidogiri.id
[1] Muhammad Ali as-Shobuni, an-Nubuwah wa al-Anbiya’, Dar al-Qalam Beirut Damaskus 1989, Hlm. 202-219
[2] Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Jala’ Al-Afham, Hai’ah ash-Shafwah al-Malikiyyah, Hlm. 24-25