Diskursus tentang “perbuatan Tuhan” merupakan tema klasik yang sarat polemik, melibatkan madrasah-madrasah yang sudah mapan dalam khazanah keilmuan Islam, wabil-khushush antara Muktazilah dan Ahlusunah wal-Jamaah. Memahami persoalan ini sangat penting, karena ia akan menggaransi kebenaran dalam memahami realitas dan dalam memberikan respons terhadapnya.
Salah satu sub pembahasan dalam tema ini adalah tentang apakah perbuatan Tuhan itu didorong oleh suatu motif atau tidak? Atau apakah perbuatan Tuhan itu didasari oleh suatu tujuan atau tidak? Dalam istilah lain: apakah perbuatan Tuhan dipicu oleh suatu ‘illah (raison d’être) atau tidak? Poin ini merupakan salah satu poros, di mana banyak cabang-cabang diskusi lain bermuara.
Dalam menjawab persoalan tersebut, madrasah Muktazilah berpendapat bahwa perbuatan Tuhan harus didasari oleh tujuan yang baik, karena perbuatan yang tak didasari oleh tujuan apapun tak lebih dari sekadar kesia-siaan belaka (‘abats), kesia-siaan itu buruk, sedangkan keburukan mustahil disematkan pada Tuhan. Maka kesimpulannya, perbuatan Tuhan harus dilatarbelakangi oleh tujuan (agrad).
Dari sini, Muktazilah menghalangi sekian banyak jenis aktivitas terhadap Allah, seperti menyiksa bocah-bocah orang musyrik, men-taklif hamba dengan sesuatu di luar kemampuan mereka, dan lain sebagainya. Di samping itu mereka juga mewajibkan sekian banyak jenis aktivitas kepada-Nya, seperti mewajibkan memberikan pahala dan siksa, mewajibkan-Nya memberikan ganti rugi (a‘wadh), dan lain sebagainya.
Baca Juga: Allah Adalah Dzat, Bukan Roh
Adapun madrasah Ahlusunah wal-Jamaah, mereka memiliki pandangan yang berbeda secara diametral dengan Muktazilah. Ahlusunah berpandangan bahwa perbuatan Tuhan tidaklah didasari oleh suatu tujuan, karena jika demikian berarti kehendak Tuhan telah dibatasi oleh tujuan tersebut, yang berarti Tuhan tidak berkehendak bebas. Tuhan, dengan demikian, dikendalikan oleh sesuatu yang disebut “tujuan”.
Lalu bagaimana dengan dalih Muktazilah yang mengatakan bahwa perbuatan tanpa tujuan adalah bentuk kesia-siaan, yang tidak mungkin terjadi pada Tuhan? Dalam menjawab keganjilan tersebut, pakar dari madrasah Ahlusunah Asya‘irah seperti al-Amidi (w. 631 H) mengatakan bahwa Dzat yang Bijaksana, yakni Allah subhanahu wa taala, tidak melazimkan adanya tujuan dalam setiap perbuatan-Nya, dan perbuatan-Nya itu tidaklah merupakan kesia-siaan jika tidak didasari oleh suatu tujuan, karena klaim “kesia-siaan” hanya bisa disematkan pada perbuatan-perbuatan yang dilatarbelakangi oleh “tujuan”.
Jika dijelaskan berdasarkan ilmu mantik, apa yang dikatakan oleh al-Amidi di atas merujuk pada teori “Taqabul al-Malakah wal-‘Adam” (pertentangan antara potensi dan ketiadaan). Pertentangan jenis ini hanya bisa disematkan pada subjek yang memiliki potensi. Contohnya seperti pertentangan antara “melihat” (malakah) dan “kebutaan” (‘adam), yang hanya bisa disematkan pada subjek yang memiliki potensi penglihatan (seperti manusia). Namun keduanya tidak bisa disematkan pada batu, misalnya, karena batu tidak menerima potensi “melihat” dan “kebutaan”.
Baca Juga: Cara Beriman Kepada Takdir Allah
Maka demikianlah halnya dengan perbuatan Tuhan, yang tidak menerima adanya “tujuan” sama sekali, sehingga perbuatan-Nya tidak bisa disifati dengan kesia-siaan (‘abats) jika tidak dilatarbelakangi oleh tujuan. Jadi, perbuatan Tuhan tidak bisa disifati dengan kesia-siaan, terkecuali jika dibenarkan kita mensifati batu dengan “buta” disebabkan ia tidak memiliki potensi “penglihatan”.
Jadi, dalam falsafah Ahlusunah Asya‘irah, tak ada ruang untuk mengatakan bahwa “Allah wajib melakukan ini dan itu, yang jika tidak dilakukan maka konsekuensinya bisa disematkan stempel buruk kepada-Nya”. Bahkan, perkataan yang ada dan yang benar adalah: “Jika Allah melakukan, maka perbuatan itu adalah baik”.
Dari sini, kita bisa memahami bahwa adalah keliru jika kita menilai buruk terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan yang jika dilihat dari perspektif manusia dianggap sebagai keburukan, seperti terjadinya gempa bumi, banjir bandang, bencana kekeringan, kelaparan, dan lain sebagainya. Semua perbuatan Tuhan adalah baik, dan apapun yang Dia lakukan, Dia Maha Bijaksana (al-Hakim) dan perbuatan-Nya penuh hikmah, karena makna hikmah adalah mengukuhkan dan menyempurnakan, serta terjadinya perbuatan yang berkesesuaian dengan ilmu.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri