Selama ini, teori Darwin dianggap sekadar teori biologis oleh banyak orang. Padahal faktanya tidak demikian. Dalam keilmuan Barat khususnya, teori Darwin sudah bertranformasi menjadi filsafat, bahkan memberikan tambahan dasar bagi filsafat materialisme. Filsafat ini tidak diragukan lagi kejahatannya, baik bagi akademisi maupun bukan, terlebih orang awam umat Islam. Oleh sebab itu, pembentengan nalar melalui kajian ilmiah perlu dikedepankan sebagai upaya peredupan api kejahatan filsafat tersebut.
Guna upaya ini, mari kita kaji terlebih dahulu teori evolusinya. Penulis kutip kesimpulan Mbah Najih Maimoen Zubair: “Evolusi adalah sebuah kebohongan”, dalam salah satu artikel beliau bertajuk “Kekufuran & Kebohongan Teori Evolusi Darwin” (PDF). Namun Penulis bukan berarti membebek pada kesimpulan Mbah Najih, berikut Penulis uraikan bagaimana keilmiahan konklusi dari premis-premis yang dirangkai oleh Mbah Najih. Kata beliau, kebohongan teori Darwin akan kentara di hadapan ilmu pengetahuan ketika dihadapkan pada tiga bahasan pokok:
Pertama, teori evolusi tidak kuasa menjelaskan bagaimana kehidupan di bumi berasal. Yufal Noah Harari di awal-awal karyanya yang terkenal, Sapiens: A Birth History of Humankind (Sapiens: Sejarah kelahiran Umat Manusia), mewakili pandangan teori evolusi Darwin dan mengurai bagaimana evolusi-evolusi yang dimaksud oleh Darwin itu. Harari menulis:
“Sekitar 14 miliar tahun silam, zat, energi, waktu, dan ruang terlahir dalam apa yang dikenal sebagai ledakan besar (big bang). Kisah tentang bagian-bagian mendasar alam semesta ini disebut sebagai fisika. Kira-kira 300.000 tahun setelah muncul, zat dan energi mulai bergabung menjadi struktur-struktur kompleks, disebut atom. Atom-atom kemudian berkombinasi menjadi molekul. Kisah atom, molekul, dan interaksinya disebut kimia. Hampir 4 miliar tahun lalu di satu planet yang disebut bumi, molekul-molekul tertentu berpadu membentuk struktur amat besar dan rumit yang disebut organisme. Kisah organisme-organisme disebut biologi. Lantas sekitar 70.000 tahun silam, sejenis organisme tertentu —manusia— mulai membentuk struktur yang lebih rumit lagi disebut budaya. Perkembangan berbagai budaya disebut sejarah.”
Baca Juga; Buletin Tauiyah 307
Kendati narasi tersebut sejak langkah pertama memperkirakan suatu kejadian yang katanya luar biasa, yakni sejarah kelahiran umat manusia, namun mereka hanya bilang itu “apa” tanpa menggambarkan “bagaimana” dan “mengapa” hal itu bisa berinteraksi, komunikasi, dan berkombinasi secara kebetulan. Demikian karena falsafat ini mengajukan pemahaman “kebetulan” sehingga ia tidak kuasa menggambarkan bagaimana kehidupan-kehidupan tersebut berasal. Mereka tidak kuasa membuktikan bagaiamana proses pembentukan satu zat saja, atau satu energi saja, atau bahkan mereka angkat tangan untuk menjelaskan bagaimana ruang dan waktu itu bisa terbentuk oleh ledakan besar, sedangkan ledakan sendiri butuh ruang dan waktu untuk meledak.
Bila satu zat saja misalnya, tidak dapat terbentuk secara kebetulan, tidak memiliki daya mandiri, harus ada campur tangan pihak lain untuk terbentuk, apakah teori yang mengatakan bahwa berjuta-juta zat dan energi dulu menyatukan dirinya sendiri menjadi apa yang disebut atom ini bisa terjadi? Apakah akal memberi ruangan gambaran atas atom-atom tersebut yang terkemudian lamanya berkombinasi sendiri menjadi apa yang dinamakan molekul, sampai begitu seterusnya berevolusi menjadi kuman yang ada di permukaan laut, yang berubah menjadi hewan kecil lalu menjadi katak kemudian ikan dan akhirnya menjadi makhluk serupa kera: australopithecus (kera dari Afrika Selatan), sampai berevolusi kesekian kalinya menjadi homo sapiens (tahapan terakhir sebelum menjadi manusia modern)? Tentu yang terjadi sejauh ini, malah semakin diketahui dan terperinci struktur dan fungsi atom —sebagai dasar evolusi hewan, semakin jelas bahwa atom bukan susunan sederhana yang terbentuk secara acak dan kebetulan, seperti pemahaman biologis primitif Darwin.
Berbeda dengan al-Quran ketika turun dan menjelaskan tentang manusia. Apa yang diurai oleh firman-Nya tentang manusia, kuasa untuk dibuktikan dan dijelaskan. “Dia (Allah) menciptakan manusia dari setetes mani” (QS. An-Nahl [16]: 4); “Dari setetes mani, Dia (Allah) menciptakannya lalu menentukannya” (QS. Abasa [80]: 19); “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)” (QS. Al-Qiyamah [75]: 37); “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur” (QS. Al-Insan [76]: 2). Bagaimana manusia berasal, oleh al-Quran, hadis, keterangan ulama, dikupas tuntas beserta bukti konsisten biologisnya, yang nanti pada intinya manusia sekarang tercipta dari air mani, begitu pula kakek nenek moyangnya, sampai ke Nabi Adam, Bapak Manusia.
Baca Juga; Wali Jadzab; Penyebab dan Cara Membedakannya
Sedangkan Nabi Adam sendiri tercipta dari tanah. “Allah menciptakan Adam dari tanah” (QS. Ali Imran [3]: 59); “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk” (QS. Al-Hijr [15]: 26); “Dan Dia telah memulai penciptaan manusia dari tanah liat” (QS. As-Sajadah [32]: 7); “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat.’” (QS. Shad [38]: 71). Kesemuaan proposisi yang dipaparkan oleh Islam bisa diuraikan bagaimana-bagaimana gambaran jelasnya.
Kedua, tidak adanya penemuan ilmiah sama sekali yang memperlihatkan bahwa mekanisme evolusi yang diajukan oleh teori ini memiliki suatu kekuatan untuk mendorong terjadinya evolusi. Artinya sejak kelahiran teori mekanisme evolusi pada abad ke-6 SM oleh seorang filsuf Yunani, Anaximander, dikembangkan oleh Darwin pada abad ke-19 M, hingga detik ini, isi teori yang dimaksud tidak berdaya, tidak memiliki kekuatan untuk menunjukan bahwa spesies evolusi dari teori ini benar-benar terjadi pada zaman dahulu pra-manusia.
Contohnya dari hukum logika. “Kekuatan kebetulan” yang mendasari teori ini, tidak masuk akal, sebab realitas menunjukkan semua peristiwa yang terjadi itu tidak kebetulan, semua ada keteraturan, ada pihak pengatur itu semua, sehingga membikin asas teori ini retak.
Sedangkan pemaparan al-Quran terkait Nabi Adam sebagai bapak manusia dan bahwa dia manusia pertama, mampu dibuktikan dengan penemuan ilmiah, yakni seperti melalui adanya kepenulisan nasab oleh banyak historikus sejarah terpercaya, baik oleh historikus Islam maupun oleh ahli kitab pemegang 3 kitab samawi yang orisinil sebelum al-Quran. Nasab tersebut jelas alurnya hingga Nabi Adam sebagai manusia pertama. Silsilah kehidupan manusia dan sejarahnya pun tampak jelas dan logis.
Ketiga, catatan fosil justru membuktikan kebalikan dari asumsi-asumsi teori evolusi. Sebut saja karakteristik khas manusia; berfikir, bersenang-senang, merasakan cinta, kasihan, kerinduan, kasih sayang, kemampuan berpikir, mengambil keputusan, empati, menghasilkan gagasan, hingga menciptakan seni, keindahan dan lain sebagainya, semua itu tidak dapat dijelaskan dari sudut pandang materialis (catatan fosil) atau penganut Darwin semata. Ideologi ini percaya bahwa semua makhluk hidup muncul secara kebetulan dari benda tak bernyawa, sedang mereka tidak pernah bisa menjelaskan bagaimana makhluk tak bernyawa tersebut suatu hari dapat mempunyai kemampuan-kemampuan yang menakjubkan seperti itu.
Jadi, sebenarnya dalam sudut pandang manapun, baik secara ilmiah maupun akal sehat teori ini sudah kalah. Akan tetapi teori ini secara paksa dipertahankan terus dalam agenda ilmu pengetahuan Barat. Demikian diperjuangkan bertahan karena ada suatu hal, yakni “hidden the meaning” dibalik itu semua: pendustaan dan pengkufuran Sang Pencipta, Allah ﷻ.
Shohibul Widad Al-Faqih | Annajahsidogiri.id































































