Pada tulisan sebelumnya telah ditegaskan bahwa konsep beragama dalam Ahlussunnah wal Jamaah itu terdiri dari tiga aspek yang tak terpisahkan, yakni nash, metodologi dalam memahami nash (metodologi berijtihad), dan kemampuan yang dimiliki seseorang (mujtahid) untuk menerapkan metodologi itu pada nash. Karena itu, hanya mujtahid saja yang bisa menyelam langsung ke nash al-Quran dan hadis, sedangkan yang bukan mujtahid tidak boleh melakukan hal yang sama, dan mereka harus taklid pada mujtahid. Inilah peran penting ijtihad para mujtahid.
Dengan memahami hal di atas, maka mestinya kita memahami bahwa hasil ijtihad para ulama itu adalah syariat Islam. Hal ini berbeda dengan kelompok yang gagal paham dari kalangan fundamentalis seperti Wahabi, yang mengatakan bahwa kita harus langsung mengambil pemahaman agama dari sumbernya yang paling murni, yaitu al-Quran dan hadis, agar pemahaman dan amaliah keislaman kita juga murni. Sedangkan kelompok liberal lebih parah lagi; selain mereka menolak otoritas para ulama mujtahid karena menganggap ijtihad mereka hanya opini belaka, mereka juga melakukan ijtihad sendiri kepada al-Quran dan hadis dengan bermodalkan kebodohan.
Adapun para ulama Ahlussunnah wal Jamaah memahami bahwa al-Quran dan hadis adalah sumber ajaran Islam yang bisa dijangkau oleh mujtahid, sedangkan hasil yang digali oleh mujtahid dari kedua sumber itu juga terhitung sebagai syariat Islam, bukan sekadar opini atau pendapat pribadi yang terpisah dari syariat. Al-Imām asy-Sya‘rānī dalam al-Mīzānul-Kubrā, mengutip Ibnu Ḥazm, yang mengatakan:
جَمِيْعُ مَا اسْتَنْبَطَهُ الْمُجْتَهِدُوْنَ مَعْدُوْدٌ مِنَ الشَّرِيْعَةِ وَإِنْ خَفِيَ دَلِيْلُهُ عَلَى الْعَوَامِ، وَمَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ فَقَدْ نَسَبَ الْأَئِمَّةَ إِلَى الْخَطَاءِ وَأَنَّهُمْ يَشْرَعُوْنَ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهِ، وَذٰلِكَ ضَلَالٌ مِنْ قَائِلِهِ عَنِ الطَّرِيْقِ.
Segala hukum yang digali oleh para mujtahid dari nash al-Quran dan hadis dihitung sebagai syariat Allah I, sekalipun dalilnya tidak jelas bagi orang awam (orang yang bukan mujtahid). Barangsiapa yang mengingkari hal itu, berarti mereka telah menisbatkan kekeliruan kepada para imam mujtahid, dan menuduh mereka membikin-bikin syariat yang tak diizinkan oleh Allah I. Tentu orang yang mengatakan seperti itu telah sesat jalan.
Al-‘Allāmah Muḥammad Bakhīt al-Muṭī‘ī mengatakan:
كُلُّ أَحْكَامٍ مِنْ تِلْكَ الْأَحْكَامِ كَانَ مَأْخُوذًا مِنَ الْأَدِلَّةِ الْأَرْبَعَةِ (الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ وَالْقِيَاسِ) صَرِيْحًا أَوْ اِجْتِهَادًا عَلَى وَجْهٍ صَحِيْحٍ، فَهُوَ حُكْمُ اللَّهِ وَشَرْعُهُ وَهَدْيُ مُحَمَّدٍ e الَّذِيْ أَمَرَنَا اللَّهُ بِاتِّبَاعِهِ، لِأَنَّ رَأْيَ كُلِّ مُجْتَهِدٍ – حَيْثُ كَانَ مَأْخَذُهُ مِنْ أَحَدِ الْأَدِلَّةِ الْأَرْبَعَةِ الْمَذْكُوْرَةِ – شَرْعُ اللَّهِ فِي حَقِّهِ وَحَقِّ مَنْ قَلَّدَهُ.
Setiap hukum dari hukum-hukum tersebut, yang diambil dari sumber yang empat (al-Quran, hadis, ijmā‘, qiyās), baik secara jelas maupun dengan menggunakan ijtihad yang dilakukan dengan benar, itu juga merupakan hukum Allah SWT, syariat-Nya, serta merupakan petunjuk Nabi Muḥammad SAW yang kita diperintah mengikutinya. Karena pendapat setiap mujtahid, selagi pengambilannya dari sumber yang empat tadi, terhitung sebagai syariat Allah bagi si mujtahid itu dan bagi orang-orang yang mengikuti hasil ijtihadnya.
Dengan demikian, mengatakan bahwa hukum fikih sudah tidak relevan, karena ini bukan dari Allah SWT dan rasul-Nya SAW, akan tetapi merupakan produk pemikiran ulama pada masa lalu, merupakan pemikiran yang gagal dalam memahami syariat Islam, dan dari sinilah persepsi tidak relevannya syariat itu bermula. Karena hasil ijtihad ulama dianggap sesuatu yang terpisah dari al-Quran dan hadis, maka mereka berpikir pendapat itu sudah usang, karena ditetapkan pada masa lalu, dan sekarang harus diperbaharui.
Baca Juga: Al-Qur’an Tidak Relevan?
Padahal konsep dalam keilmuan syariat Islam tidak demikian. Dalam Islam, dalil-dalil yang ada itu integral dengan ijtihad para ulama. Al-Quran adalah sumber utama, sedangkan hadis merupakan penjelasan dari al-Quran. Lalu ijtihad para ulama merupakan penjelasan dari kedua sumber itu. Perhatikan pernyataan al-Imām asy-Syāfi‘ī berikut:
جَمِيْعُ مَا تَقُولُهُ الْأُمَّةُ شَرْحٌ لِلسُّنَّةِ، وَجَمِيْعُ السُّنَّةِ شَرْحٌ لِلْقُرْآنِ.
Segala apa yang dikatakan oleh ulama umat ini merupakan penjelasan dari sunah, dan segala apa yang tertera dalam sunah merupakan penjelasan bagi al-Quran.
Asy-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt menjabarkan sebagai berikut:
إِنَّ الْمُعَبَّرَ بِهِ فِي السُّنَّةِ هُوَ الْمُرَادُ فِي الْكِتَابِ، فَكَأَنَّ السُّنَّةَ بِمَنْزِلَةِ التَّفْسِيْرِ وَالشَّرْحِ لِمَعَانِي أَحْكَامِ الْكِتَابِ، وَدَلَّ ذٰلِكَ قَوْلُهُ: }وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ{. فَإِذَا حَصَلَ بَيَانُ قَوْلِهِ تَعَالَى: }وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ{ بِأَنْ الْقَطْعَ مِنَ الْكُوْعِ، وَأَنَّ الْمَسْرُوْقَ نِصَابًا فَأَكْثَرَ مِنْ حِرْزِ مِثْلِهِ: فَذٰلِكَ هُوَ الْمَعْنَى الْمُرَادُ مِنَ الْآيَةِ، لَا أَنْ نَقُوْلَ: إِنَّ السُّنَّةَ أَثْبَتَتْ هٰذِهِ الْأَحْكَامَ دُوْنَ الْكِتَابِ. كَمَا إِذَا بَيَّنَ لَنَا مَالِكٌ أَوْ غَيْرُهُ مِنَ الْمُفَسِّرِيْنَ مَعْنَى آيَةٍ أَوْ حَدِيْثٍ، فَعَمِلْنَا بِمُقْتَضَاهُ، فَلَا يَصِحُّ لَنَا أَنْ نَقُوْلَ: إِنَّا عَمِلْنَا بِقَوْلِ الْمُفَسِّرِ الْفُلَانِيِّ دُوْنَ أَنْ نَقُوْلَ: عَمِلْنَا بِقَوْلِ اللهِ أَوْ قَوْلِ رَسُوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ.
Bahwa apa yang tertera dalam hadis merupakan maksud yang dikehendaki oleh al-Quran. Jadi seolah-olah hadis merupakan penafsiran dan uraian bagi hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah SWT yang artinya, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Naḥl [16]: 44).
Jika hadis menerangkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah I “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Bahwa pemotongan dilakukan di pergelangan tangan, dan bahwa barang yang dicuri mencapai satu nisab atau lebih, serta barang itu sudah disimpan di tempat penyimpanan yang semestinya, maka keterang yang diberikan oleh hadis itulah yang memang dikehendaki oleh al-Quran. Jadi kita tidak boleh mengatakan bahwa hadis telah menetapkan hukum tersendiri secara independen tanpa al-Quran.
Sama halnya ketikam al-Imām Mālik atau ulama lain dari para mufasir menjelaskan makna suatu ayat al-Quran atau hadis Nabi SAW, maka kita tidak diperkenankan mengatakan “kita sedang mengamalkan pendapat mufsir ini dan itu” tanpa mengatakan “kita sedang mengatakan firman Allah SWT dalam al-Quran atau sabda Rasūlullāh SAW dalam hadis.”
Dengan demikian, maka setiap Muslim harus meyakini bahwa hukum-hukum syariat yang tertuang dalam kitab-kitab para ulama itu sama sekali bukan sesuatu yang berbeda dari al-Quran dan hadis. Itulah sebabnya para ulama mengatakan bahwa al-Quran dan hadis merupakan sumber syariat Islam bagi para mujtahid, karena mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan, kecakapan, serta kelengkapan syarat-syarat berijtihad. Sedangkan hasil dari ijtihad mereka yang dituangkan dalam kitab-kitab fikih itu, juga merupakan syariat bagi para pengikut mujtahid tersebut.
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)