Barangkali sudah sangat maklum bagi kita semua, bahwa Wahabi termasuk salah satu sekte yang masih sangat rajin menyebarkan paham-paham mereka yang kontroversial (baca: sesat lagi menyesatkan), selain sekte-sekte sempalan lain semacam Syiah dan Liberalisme.
Baca Juga: Setali Tiga Uang Liberal-Wahabi (1/2)
Itulah sebabnya kenapa belakangan ini barbagai tema terkait disiplin kewahabian bertebaran di berbagai platform sosial media, dan kita pun menjadi begitu akrab dengan ide-ide mereka: perihal keberadaan Tuhan yang berdomisili di langit, bersemayam di Arasy, punya organ-organ fisik yang tak seperti punya kita, dan ide-ide tajsim atau tasybih semacam itu, hingga perihal berbagai amaliah Ahlusunah wal Jamaah yang mereka klaim bidah, bahkan kufur dan syirik.
Ya, percakapan seputar paham-paham kontroversial itu telah lumrah kita dengar, dan karena itu pihak kita, Ahlusunah wal Jamaah, juga telah cukup aktif memberikan jawaban-jawaban ilmiah terhadap ide-ide gagal paham Wahabi itu.
Namun yang tidak begitu banyak kita kaji hingga saat ini adalah, kenapa ada sekelompok umat Islam yang sampai punya paham kaku seperti itu dalam beragama? Kira-kira apa saja penyebabnya, dan apa saja akar masalah yang melatarbelakanginya?
Penulis melihat, setidaknya ada tiga akar penyebab kontroversi Wahabi, baik dalam tataran ide dan pemikiran maupun dalam hal praktik dan pengejawantahannya.
Baca Juga: Buletin Tauiyah Edisi 228
Pertama, penggunaan metodologi yang bermasalah. Tentu, kita mengakui bahwa para ulama Wahabi adalah orang-orang dengan pemahaman dan keilmuan yang mumpuni. Artinya mereka bukan orang-orang yang awam dalam hal agama. Akan tetapi masalahnya metodologi yang mereka gunakan dalam memahami agama, bahkan dalam menggali pemahaman akidah, justru sangat awam sekali. Metodologi itu adalah apa yang kita kenal dengan pembacaan harfiah terhadap nash.
Nah, jika metodologi yang mereka gunakan sangat awam seperti itu, yakni metodologi pembacaan tekstualis atau harfiah itu tadi, maka sealim atau semahir apapun seseorang, pasti ia akan sampai pada kesimpulan yang awam dan harfiah itu. Karena metodologi pembacaan itu ibarat rel. Jika rel yang mereka lintasi belok-belok, maka kereta model apapun yang melintas mereka lintasi akan belok-belok juga.
Begitu pun sebaliknya, jika rel yang mereka lintasi itu lurus, maka kereta model apapun yang melintas juga berjalan dengan lurus.
Itulah sebabnya kenapa setiap ulama Wahabi pasti memiliki paham tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebab mereka membaca ayat-ayat mutasyabihat tidak metodologis sebagaimana mestinya, atau -dalam istilah penulis- memakai metodologi awam itu tadi.
Baca Juga: Wahabi Gagal Paham 1
Karena itu mereka bersikukuh bahwa Allah punya wajah, tangan, kaki, dan sebagainya, meski kemudian mereka bilang, “namun tak seperti anggota badan yang kita punya”.
Pembacaan mereka terhadap hadis “kullu bid‘atin dhalâlah” juga mereka lakuakan dengan cara yang sama, sehingga setiap amaliah yang tidak ada (bentuk presisi lahiriahnya) pada zaman salaf, langsung mereka klaim bidah.
Kedua, fanatik buta sektarian. Faktor ini semakin memperparah problem tadi. Sebab selain metodologi yang mereka lalui bermasalah, mereka juga tidak membuka pikiran mereka untuk mendengarkan penjelasan dari mayoritas ulama (Ahlusunah wal Jamaah).
Mereka justru bersikukuh berpegang pada segelintir ulama mazhab mereka saja, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Abdil Wahhab, al-Albani, Utsaimin, dan kawan-kawannya.
Selain itu, poin kedua ini masih menopang problem lain, yang membikin konsep ilmiah mereka semakin problematis. Bahwa pada saat mereka hanya bersikukuh berpegang pada pemahaman segelintir ulama mereka, pada saat yang sama mereka juga mengklaim melakukan ijtihad sendiri; menggali pemahaman langsung dari al-Quran dan hadis.
Ini jelas kontradiktif. Karena jika seseorang sudah bisa melakukan ijtihad sendiri, mestinya ia tak boleh taklid pada orang lain. Tapi yang terjadi pada para ustaz Wahabi Indonesia ini unik: mereka mengklaim kembali langsung pada al-Quran dan hadis, namun sekaligus masih taklid pada panutan mereka.
Baca Juga: Kenapa Wahabi Bukan Ahlussunnah?
Faktor inilah yang membikin kita sangat mudah mendapati pendapat-pendapat yang kontradiktif antar sesama ustadz Wahabi, baik dalam masalah akidah maupun fikih.
Misalnya, Ibnu Taimiyah memperbolehkan Maulid Nabi, sedangkan ustaz-ustaz Wahabi membidahkan dan melarangnya. Kontradiksi semacam ini, yang terjadi di kalangan ustaz-ustaz Wahabi, berhamburan di channel-channel YouTube.
Ketiga, problem konsep dakwah. Problem ini mengakibatkan terjadinya kontroversi yang menjalar sampai ke akar rumput. Sebab dalam konsep dakwah, mestinya ada kelas-kelas atau klasifikasi khusus berkenaan dengan sasaran dakwah. Ada objek yang masuk kelas tinggi, menengah, dan rendah.
Sehingga, misalnya, kelas masyarakat awam dengan pemahaman keagamaan yang rendah tidak boleh disuguhi materi-materi yang mestinya diperuntukkan kelas menangah atau tinggi. Begitupun sebaliknya.
Adapun yang dilakukan oleh para ustaz Wahabi di Indonesia ini berbeda dengan konsep dakwah standar tersebut. Mereka malah rajin mendoktrin masyarakat awam yang menjadi pengikut mereka dengan materi-materi yang berkenaan dengan syubhat-syubhat pemikiran dan tudingan-tudingan sesat menyesatkan kepada kelompok di luar mereka.
Itulah yang membikin kegaduhan kontroversi pemikiran Wahabi ini juga datang dari kelas akar rumput. Sehingga yang gemar menyesatkan bukan hanya para ulama mereka, akan tetapi juga kelas awam mereka.
Moh. Achyat Ahmad|Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)
Comments 0