Mengingat kembali nazam yang lalu, Syekh Ahmad al-Marzuqi mengingatkan kita—selaku orang mukalaf—untuk mengetahui duapuluh sifat Allah. Nazam tersebut berbunyi:
وَبَـعْـدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَـهْ ۞ مِنْ وَاجِـبٍ ِللهِ عِـشْرِيْنَ صِفَـهْ
“Waba’du, ketahuilah bahwa (orang mukalaf) wajib mengetahui 20 sifat yang wajib kepada Allah.”
Dengan kewajiban makrifat, orang mukalaf tidak cukup taklid dalam akidah. Perbedaan antara makrifat dengan taklid sangatlah tipis. Keduanya, sama-sama meyakini. Hanya saja, makrifat merupakan sebuah keyakinan berdasarkan dalil, sedangkan taklid tanpa dalil.
Dalam kitab Kifayatul-‘Awam (37) tertera definisi singkat taklid. Syekh al-Fudhali al-Azhari mendefinisikan taklid dengan:
وَأَمَّا التَّقْلِيْدُ وَهُوَ أَنْ يَعْرِفَ العَقَائِدَ الخَمْسِيْنَ ولَمْ يَعْرِفْ لَهَا دَلِيْلًا إِجْمَالِيًا اَوْ تَفْصِيْلِيًا
“Taklid adalah mengetahui akidah lima puluh, tanpa berdasarkan dalil, baik global atau terperinci.”
Kifayatul-‘Awam (37)
Ada ayat menarik dalam surat az-Zukhruf yang turun dengan berkanaan kekafiran Walid bin Mughirah, Abu Sufyan, Abu Jahal dan beberapa orang musyrik lain penyembah berhala. Mereka beralasan bahwa mereka taklid kepada nenek-moyangnya. Allah mengabadikan alasan mereka dengan firman-Nya:
بَلْ قَالُوٓا۟ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّهْتَدُونَ
“Bahkan mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka’.”
(QS. az-Zuhruf[43]:22)
Ayat ini dengan jelas, melarang seseorang untuk taklid. Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat tersebut menjadi dalil jelas perihal pelarangan ikut-ikutan dalam urusan akidah. Beliau menjelaskan dalam tafsirnya (6/11):
وفِيْ هَذَا دَلِيلٌ عَلَى إِبطَالِ التَّقْلِيْدِ؛ لِذمِّهِ إِيَّاهُمْ عَلَى تَقْلِيْدِ آبَائِهِمْ وَتَرَكَهُمْ النَظَرَ فِيْمَا دَعَاهُمْ إِلَيهِ الرَسُولِ صلى الله عليه وسلم .
“Ayat ini menjadi dalil perlarangan taklid, karena Allah mengacam mereka karena taklid kepada ayahnya dan meninggalkan nadzar (berpikir) atas ajakan Rasulullah.”
Tafsir al-Qurthubi (6/11)
Pelarangan taklid tentunya hanya berputar dalam akidah saja. Hal ini ternungkap jelas dalam kitab Jalâul-Afhâm Syarh ‘Aqîdatul-Awam (21-22) saat beliau menerangkan definisi makrifat:
وَلَيْسَ بِتَقْلِيْدٍ لِمَنْعِهِ فِيْ عِلْمِ العَقَائِدِ إِنْ كَانَ فِيْ المقَلِّدِ أَهْلِيَةٌ لِلنَّظَرِ.
“(Makrifat tentunya) bukan dengan cara taklid, lantaran ada pelarangan taklid dalam urusan akidah, teruntuk seseorang yang mampu berpikir”
Jalâul-Afhâm Syarh ‘Aqîdatul-Awam (21-22)
Imam Muhammad bin Yusuf bin Umar bin Syu’aib as-Sanusi, atau yang kita kenal Imam as-Sanusi mengategorikan taqlîdur-râdî’ sebagai salah-satu dari enam muara kekafiran. Beliau mengatakan dalam Syarh Ummul-Barâhîn (218):
وَالتَقْلِيْدُ الرَّدِىء هُو أَصْلُ كُفْرِ عَبَدَةِ الْأَوْثَان وَغَيْرِهِمْ حَتَّى قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِم مُّقْتَدُونَ ولهذا قال المحَقِّقُوْنَ لَا يَكْفِي التَقْلِيْدُ فِى عَقَائِد الإِيمَانِ قَالَ بَعْضُ المشَايِخِ لَا فَرْقَ بَيْنَ مُقَلِّدٍ ينْقَادُ وَبَهِيْمَةٍ تُقَادُ
“(Di antara asal kekafiran ialah) mengikuti yang jelek. Ini merupakan asal kekafiran para penyembah berhala dan selain mereka. Hingga mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Oleh karenanya, muhaqqiqûn mengatakan bahwa takliddalam urusan akidah tidak dikatakan cukup. Sebagian ulama mengatakan, ‘tidak ada beda antara orang taklid yang tunduk dan hewan ternak yang dituntun’.”
Syarh Ummul-Barâhîn (218)
Sangatlah wajar, bila hewan ternak yang tidak berakal selalu manut kepada pengembalanya. Akan tetapi, untuk sekelas manusia yang berakal, tidak layak bila dalam urusan ketuhanan, dia hanya manut, tanpa menggunakan akalnya sebagai media berpikir.
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id