Menarik! belakangan ini dunia kita selalu diisi dengan berita-berita yang menghebohkan. Setelah di bulan Ramadhan yang lalu kita dihebohkan oleh prediksi kiamat, beberapa bulan yang lalu para peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) yang didukung oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kementrian Kelautan dan Perikanan (KPP), dan Badan Informasi Geospasial (BIG) memprediksi bahwa dalam waktu dekat, di beberapa titik pantai selatan laut Jawa akan terjadi tsunami. Bahkan bukan itu saja, potensi tsunami juga akan terjadi di sepanjang pantai yang menghadap Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (CNN Indonesia). Sebagian orang, ada yang tidak mengindahkan informasi ini. Tapi sebagian yang lain ada yang panik. Sebenarnya, bagaimana hukum mempercayai prediksi-prediksi ini?
Jika kita tinjau dari sudut pandang akidah, maka menurut kesimpulan analisa Syekh Said Ramadhan al-Buthi, pembahasan ini terfokus pada dua titik. Yaitu kebenaran teori kausalitas (sebab-akibat) dan hukum mempercayainya.
Teori Kausalitas (sebab-akibat)
Teori kausalitas atau teori sebab-akibat sudah sangat lumrah dipakai dalam analisis ilmiah modern. Menurut penulis, kesimpulan yang dilakukan oleh para pakar ITB, BMKG, KKP, dan BIG tersebut bukan berdasarkan pada asumsi belaka. Mereka meneliti sebab-musabab yang terjadi sebelum tsunami datang. Setelah melalui analisa yang matang, maka mereka bisa memprediksi bahwa akan terjadi tsunami di daerah-daerah ini. Nah, analisa seperti ini oleh Syekh Said Ramadhan al-Buthi disebut dengan Qânûnus-Sababiyah (Hukum Kausalitas) yang kebenarannya juga tertera dalam al-Quran (Kubrâl-Yaqîniyat al-Kauniyât, hal. 289).
Baca Juga: Penyembahan Akal Ala Ateis
Hal ini sesuai dengan penafsiran asy-Sya’rawi dalam menafsiri ayat ke 17 dari surah al-Kahfi yang artinya:
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah I” (al-Kahfi [17:18]).
Imam asy-Sya’rawi menyebutkan bahwa Allah I menciptakan makhluk sekaligus memberikan proses-proses yang harus dilalui. Pagi muncul, ketika matahari bergerak untuk terbit. Hujan turun, ketika langit mulai mendung dan sebagainya. Begitupun tsunami, tsunami akan terjadi setelah adanya gejala-gejala yang tentu juga bisa diteliti oleh para pakar.
Hanya saja, di akhir penjelasan asy-Sya’rawi mengatakan, “Dalam semua proses-proses itu, Allah I memiliki kemampuan (Quyûmah) untuk membatalkan jika Allah I mau, atau ingin terus menjalankannya” (Lihat: Tafsîr asy-Sya’rawi, hal. 8857). Lebih jelas lagi, al-Ghazali menyatakan, “Segala kejadian yang biasanya diyakini sebagai sebab dan musabab, tidak lah terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, semua proses-proses itu terjadi atas takdir dan kehendak Allah I” (Tahâfutul-Falâsifah hal.239). Jadi, semua proses tersebut berpusat pada satu musabab tertinggi, yaitu Allah I. Sehingga, apakah prediksi tsunami yang dicetuskan oleh ITB dan peneliti-peneliti lain di atas akan benar-benar terjadi? Jawabannya, bisa iya, bisa tidak; tergantung pada kehendak Allah I yang tidak kita ketahui. Maka kita tidak boleh murni percaya pada prediksi ini, tanpa menghiraukan musabab tertinggi tadi.
Hukum Mempercayainya
Nah, mengenai hukum mempercayai prediksi tersebut, al-Buthi membagi menjadi dua kategori. Yaitu kufur, jika ia hanya meyakini tsunami ini terjadi murni sebab proses-proses alami tersebut. Karena ia telah meyakini ada yang bisa memberi pengaruh sendiri tanpa peran musabab tertinggi; Allah I. Dan dihukumi boleh mempercayai, selama ia juga percaya bahwa di sana ada musabab tertinggi yang berperan paling besar dalam semua proses alam tersebut. Meskipun dalam diksi, ia tidak menyebutkannya. (Kubrâl-Yaqîniyat al-Kauniyât, hal. 294).
Abdul Muid | Annajahsidogiri.id