Dalam kultur agama Islam Indonesia, habib atau sayid adalah gelar kehormatan yang biasa disematkan kepada orang-orang yang memiliki ketersambungan nasab dengan Baginda Muhammad. Karena itu, pada akhirnya siapapun yang bergelarkan habib atau sayid, mereka berhak untuk dihormati oleh umat Islam. Namun demikian, melihat realita dan fakta yang ada, orang-orang yang bergelarkan habib ataupun sayid mulai dicitrakan buruk, semisal, penyebutan habib adalah gelar bagi orang yang berprofesi sebagai tukang obat, opini jangan mendewakan habaib, dan atau hujatan lainnya yang bersifat subjektif dan cenderung ditunggangi sikap fanatisme. Tentu persoalan ini perlu didudukkan dan didiskusikan lebih lanjut.
Siapakah Habib?
Perlu diketahui, “Sayid” dalam bahasa Arab berarti tuan, “Syarif” adalah orang mulia, sedangkan “Habib” berarti orang yang dicintai. Ketiga nama ini adalah gelar kehormatan bagi keturunan Rasulullah r dari jalur kedua putra Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fathimah az-Zahra y; Sayidina Hasan t dan Sayidina Husain t (lihat juga: Minhatul-Hamîd Syarhu Jauharatit-Tauhîd hlm. 210). Menurut pemaparan ketua umum Rabithah Alawiyah Indonesia, Habib Zein Umar Smith, gelar syarif adalah bagi keturunan Sayidina Hasan t, sedangkan gelar sayid bagi keturunan Sayidina Husain t. Untuk gelar habib hanya teruntuk bagi zuriah yang saleh dan dicintai oleh murid dan masyarakatnya, atau saleh plus alim (Tirto.id, 08/01/17).
Baca Juga: Arti Kata Habib Sebenarnya
Sebagai Muslim, kita berkewajiban meyakini keberadaan cucu Rasulullah r, menghormati, berbuat baik dan mencintai mereka. Berdasarkan ayat al-Quran:
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى
“Aku tidak meminta kepadamu (Muhammad) sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (QS. Asy-Syura [42]: 23)
Imam Syamsuddin al-Qurthubî (w. 671 H) dalam tafsir-nya menulis salah satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas t, bahwa Nabi r pernah ditanya mengenai apa maksud hak kekerabatan yang terdapat dalam ayat di atas: “Wahai Rasul, siapakah kerabatmu yang harus kami cintai?” Nabi r menjawab: “Ali, Fathîmah berikut para keturunannya.” (lihat: Tafsirul-Qurthubî al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qurân, juz 16, hlm. 20)
Dengan demikian, maka mencintai para sayid adalah kewajiban setiap Muslim. Sebab dalam diri para sayid terdapat hubungan darah dengan Kanjeng Nabi r. Bahkan, ada ancaman bagi para haters ahlu bait (Shahihu Ibni Hibbân, no. 6978):
وَالذِّي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُبْغِضُنَا أَهْلَ الْبَيْتِ رَجُلٌ إِلَّا أَدْخَلَهُ الله النَّارَ
“Demi Allah, tidaklah seorang pun yang membenci ahli bait kecuali ia akan dimasukkan ke neraka oleh Allah.”
Baca Juga: Penolakan Ahli Bait Terhadap Syiah
Namun sebagai seorang manusia, tentu para sayid atau ahlu bait juga berpotensi melakukan kesalahan dan kekeliruan. Sebab mereka tidak maksum (terjaga dari dosa). Tetapi, apabila hal ini terjadi, maka sikap seorang Muslim tetap tidak diperbolehkan membenci mereka. Hanya saja di sisi lain, ia berkewajiban amar makruf dan nahi mungkar atas kesalahannya. Jadi, membenci perilaku sayid yang salah menurut Islam adalah kewajiban dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap sayid tersebut.
Menilai Habib dengan Objektif
Oleh karena itu, ada dua tipikal kekeliruan masyarakat dalam menyikapi ahlu bait (atau habaib) apabila melihat realita yang ada di Indonesia secara khusus; (1) Membenci sama sekali, bisa saja disebabkan oleh sikap dengki dan hasut; tidak suka jika melihat sayid dihormati sebegitunya, padahal juga memiliki hak yang sama sebagai rakyat Indonesia, misalkan. (2) Mencintai sama sekali; bagaimanapun perilaku sayid, baik benar ataupun salah, tetap dia amini, dia ikuti dan wajib dibela, tanpa ada filtrasi. Tentu kedua sikap ini sama-sama tidak benar. Seharusnya, setelah membaca penjelasan di atas, seorang Muslim sudah bisa menilai para habaib dengan rasional bukan dengan bawaan emosional. Wallâhu a’lam.
Fawaidul Hilmi | Annajahsidogiri.id