Melihat AllahSWT adalah anugerah terindah yang hanya diperoleh hamba yang menjadi kekasih-Nya. Baik dalam mimpi, sebagaimana yang pernah di alami Imam Ahmad bin Hanbal ra.1 Atau juga saat terjaga, sebagaimana yang terjadi pada diri Rasulullah SAW saat peristiwa Isra’ Mi’raj.2
Dengan limit waktu yang berbeda, kelak Allah SWT memberi kesempatan pada semua penduduk surga untuk melihat-Nya. Hal ini sebagaimana yang di ungkapkan oleh Syekh Abu Yazid al-Bustami , bahwa Allah SWT akan membagi waktu khusus untuk sebagian penduduk surga agar bisa merasakan kenikmatan melihat-Nya.
Keabsahan Ru’yatullah
Konsensus pakar teolog Ahlussunnah menyatakan, bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh hamba-Nya kelak. Selain karena secara rasio Allah SWT memiliki sifat Wujud, juga lantaran terdapat dalil ayat al-Quran dan hadis yang melandasi pendapat tersebut. Semisal QS al-Qiyâmah (75): 22-23, QS al-Muthaffifîn (83): 23.3
Atau sebuah hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda kepada para shahabatnya: “Sesungguhnya kalian akan melihat tuhan kalian, sebagaimana kalian melihat bulan di malam gerhana.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim). Namun demikian, terdapat hadis lain yang diriwayatkan dari Sayidah ‘Aisyah berbunyi begini: “Barang siapa menyangka Muhammad SAW telah melihat tuhannya, maka ia telah berbohong.”
Nah, keberadaan hadis yang terakhir disebut tadi menyebabkan tarik-ulur dikalangan teolog: apakah Allah SWT bisa dilihat di dunia atau tidak? Sebagian ulama salaf seperti Ibnu Abi Hatim berpendapat bahwa Allah SWT hanya dilihat di akhirat. Hal ini lantaran Ibnu Abu Hatim menyimpulkan hadis Sayidah Aisyah tadi pada pemahaman bahwa Allah SWT tak bisa dilihat di dunia, mengacu pada pendapat Ismail bin Ulayyah y ketika menafisiri firman Allah SWT: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, namun Dia dapat melihat segala hal yang kelihatan (mata).” (QS al-An’am [6]: 103).4
Sedangkan ulama Mutaakhirin seperti Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri y berpendapat bahwa Allah SWT dapat dilihat di dunia, seperti yang di alami Rasulullah SAW ketika Isra’ Mi’raj. Adapun riwayat Sayidah Aisyah tadi menurut Ibrahim al-Baijuri telah terdegradasi dengan sendirinya, karena riwayat yang lebih kuat dari shahabat Abdullah Ibnu Abbas y menyatakan Allah SWT dapat dilihat di dunia dan di akhirat sekaligus.
Dari dua pendapat yang di kemukakan tadi, baik Ibnu Abi Hatim maupun Ibrahim al-Baijuri pada dasarnya masih berada dalam rel yang benar, sebab keduanya sama-sama masih meyakini kemungkinan Allah SWT bisa dilihat. Namun masih ada satu kelompok antagonis yang punya cara pandang berbeda dari lumrahnya. Mereka adalah sekte Muktazilah yang enggan untuk menerima pemahaman seperti di muka, namun juga menggunakan landasan dalil QS al-An’am (6): 103 tadi.
Muktazilah menyatakan mustahil Allah SWT bisa dilihat orang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Muktazilah Baghdad bahkan lebih parah lagi. Mereka malah mengarahkan nash al-Quran dan hadis terkait kemungkinan Allah SWT dilihat kepada makna “ilmu” (pengetahuan).5
Syeh Ibrahim al-Baijuri sebenarnya telah menyanggah interpretasi kelompok Muktazilah ini. Bahwa kata “la tudrikuhul-abshar” yang tedapat dalam QS al-An’am tadi tidaklah sebagaimana pernyataan Muktazilah.Kata “idrâk” (dari akar kata tudraku) menurut beliau lebih mengarah pada pemaknaan yang umum, yakni melihat secara keseluruhan (ru’yah bil-ihâthah) atau hampir mirip dengan seseorang yang melihat sebuah benda secara utuh.
Sedangkan penglihatan hamba kepada Allah SWT adalah berkat kekuatan anugerah ilahi, bukan karena kekuatan penglihatan mata itu sendiri. Allah SWT hanya akan menganugerahkan kenikmatan melihat dzat-Nya kepada orang-orang yang Dia kehendaki saja.6
Dimanakah kita melihat Allah SWT?
Secara garis besar, tempat yang dimungkinkan untuk melihat Allah SWT di dunia dan di surga kelak. Di dunia, Allah SWT akan terlihat di padang Mahsyar (al-mauqif) saat seluruh manusia di hisab amalnya. Pakar teologi juga menyepakati bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh orang-orang mukmin kelak di surga. Hal ini senada dengan pernyataan mayoritas ulama Mufassirin, semisal Ibnu Abdissalam dan as-Samarkandi dalam menginterpretasikan firman Allah SWT: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, terdapat pahala yang terbaik berserta tambahannya.” (QS Yunus [10]: 26).
Ibnu Abdissalam dan as-Samarkandi menafsiri kata “al-husna” dalam ayat tersebut dengan surga, sedangkan kata “ziyâdah” ditafsiri dengan kenikmatan melihat Allah SWT. Sehingga ayat tersebut dapat difaham begini: kelak penduduk surga akan mendapatkan tambahan keutamaan dari Allah SWT berupa kenikmatan tertinggi dengan cara melihat dzat-Nya.7 Ini juga di dukung dalil sabda Rasulullah SAW, bahwa ketika membaca QS Yunus (10): 26 tadi beliau berkata, kelak penduduk surga akan dibuka hijabnya sehingga bisa memandang Allah SWT secara langsung.8
Sedangkan perihal melihat Allah SWT di dunia, tepatnya di padang Mahsyar, masih menjadi topik perdebatan dikalangan pakar teolog. Hanya saja pendapat yang terpilih (al-mukhtar) adalah yang menyatakan kemungkinan melihat Allah SWT di dunia .9
Ikhtitâm
Dari pemaparan tadi, ada satu kesimpulan terbaik (natijah) yang perlu kita yakini bersama: bahwa melihat Allah SWT adalah kenikmatan tiada tara yang telah Dia janjikan kepada umat muslim, terlepas dari hal itu akan terjadi di dunia atau di akhirat. Wallahu A’lam.
Abdul Hamid/Annajah.co