Islam sebagai agama yang universal, apabila dilihat dari rentang historisitasnya—teerlebih pada masa kejayaan Islam dari 750 M hingga 1258 M–senantiasa bersikap toleran terhadap pemikiran dan tradisi yang berbeda di luarnya, bahkan tak jarang memberikan apresiasi dengan mengadopsi dan menjadikannya sebagai bagian yang intergral dari Islam itu sendiri. Refleksi Islam seperti ini bisa dilacak sejak masa Rasulullah hingga generasi-generasi selanjutnya. Dalam sirah nabawiyah misalnya, Rasulullah SAW pernah berkhutbah dengan hanya dinaungi pelepah kurma. Kemudian, setelah umat muslim semakin banyak, dipanggillah seorang tukang kayu dari Romawi. Ia membuatkan Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipergunakan untuk berkhutbah Jumat.
Baca Juga: Membungkam Kontroversi Bidah
Di Indonesia sendiri, Islam menjadi agama yang paling banyak pemeluknya. Masyarakatnya sangat kaya dengan budaya dan tradisi. Budaya maupun tradisi lokal tidak hanya memberikan warna dalam elemen percaturan kenegaraan, tetapi juga memengaruhi dalam keyakinan dan praktik keagamaan masyarakat.
Hal tersebut ternyata menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam sendiri, terutama mengenai ritual-ritual yang sering dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Melihat konteks Indonesia sekarang ini, Wahabi menuduh amalan tersebut sebagai bidah, khurafat dan sebagainya. Mereka menolak seluruh kegiatan keagamaan yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan sunah atau yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti tahlilan, maulidan atau tradisi -tradisi lokal lain yang telah melekat erat dan mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Sebenarnya, pernyataan mereka berangkat dari konsep yang keliru, yakni beranggapan bahwa Islam sangat antipati terhadap tradisi. Mereka memberi justifikasi hukum bahwa kegiatan keagaman yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan hadis atau tidak pernah dicontohkan nabi disebut bidah. Kenyataannya, tidak demikian. Bila tetap memaksa untuk memasukkan konsep yang diracik mereka tersebut ke dalam ajaran Islam, maka akan memunculkan dua formula fatal:
Baca Juga: Menjawab Kritik Wahabi Seputar Pemaparan Akidah Ahlusunah wal Jamaah
Pertama, menganggap dasar Islam hanya al-Qur’an dan hadis. Kedua, mereka berasumsi bahwa Islam sangat antipati terhadap tradisi. Dua formula fatal ini dapat disanggah dengan dua poin. Pertama, dasar ajaran Islam bukan al-Qur’an dan Hadis saja. Sejak era ulama salaf, dasar ajaran agama Islam ada empat, al-Qur’an, Hadis, ijma dan kias. Mayoritas ulama pun sepakat bahwa dasar Islam terdapat empat macam. Jadi, tatkala seseorang dihadapkan pada suatu permasalahan, haruslah kembali pada al-Qur’an kemudian sunah. Apabila tetap tidak menemukan dalil, maka harus merujuk pada ijma ulama. Bila belum jua menemukan solusi, barulah mengutip dalil dari kias.
Dalam hal ini Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (النساء : 59)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat di atas memberikan penjelasan terhadap orang mukmin agar senantiasa taat kepada Allah dan Rasulullah, yakni dengan mengikuti al-Quran dan Sunah. Juga memberikan perintah agar mematuhi ulil amri (ulama), yakni dengan mengikuti hal yang disepakati oleh para mujtahid.
Kedua, menurut perspektif Islam, tidak semua tradisi secara mentah-mentah ditolak oleh agama Islam. Tatkala suatu budaya dari umat terdahulu yang telah berjalan tidak di-nas dalam agama, maka dengan sendirinya akan menjadi bagian dari syariat Islam. Demikian ini telah selaras dengan dalil al-Qur’an, hadis dan asar kaum salaf.
Tradisi Menurut al-Quran
Allah berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعرف : 199)
Artinya:’’ jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang bodoh.’’ (QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas, Allah SWT memerintahkan Nabi agar menyuruh umatnya agar senantiasa mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik. Mengenai ayat ini, Syekh Wahbah az-Zuhaili berkata, “Hal realistis, maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.” Karena yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik, al-Imam Sya’rani berkata:
Di antara budi pekerti kaum salaf yang shalih adalah mereka berhenti dari setiap perbuatan atau ucapan, sampai mengetahui pertimbangannya menurut al-Qur’an dan hadis, atau tradisi. Karena tradisi termasuk bagian dari syari’ah. Allah berfirman: Ambillah sifat pemaaf, suruhlah orang melakukan yang ma’ruf (tradisi yang baik), dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.
Pemaparan di atas memberikan kesimpulan , bahwa tradisi dan budaya merupakan bagian yang integral dalam syariat, yang harus dijadikan pertimbangan dalam berbagai aspek, berdasarkan ayat di atas.
Tradisi Menurut Hadis
Islam merupakan agama yang sangat toleran. Islam datang tidak untuk menghapus tradisi, tetapi dalam rangka menyempurnakan dan memperbaiki tradisi.
Dalam banyak tradisi, seringkali terkandung nilai-nilai akhlak yang mulia, dan Islam pun datang untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, banyak kita dapati hukum Islam mengadopsi tradisi Jahiliyah seperti hukum qasamah, diyat ‘aqilah dan tak kalah populer ialah puasa Asyura, juga berasal dari tradisi Jahiliyah dan Yahudi.
Sahabat Abdullah bin Mas’ud juga berkata:
مَا رَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءُ.(رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم)
Abdullah bin Mas’ud t berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.”
Hadis di atas memberikan penjelasan, selama tradisi tersebut dianggap baik, maka baik pula menurut Allah, artinya secara otomatis dilegalkan oleh syariat.
Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan, bahwa Islam memandang tradisi secara selektif,tidak menolak secara mentah-mentah terhadap tradisi atau budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Setiap perbuatan yang diterima oleh mayoritas umat Islam, dikategorikan sebagai perbuatan yang baik di sisi Allah SWT. Setiap adat kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat serta tidak melanggar ketentuan syariat, harus tetap dipelihara dan diamalkan. Sebaliknya, adat kebiasaan yang menyimpang dari ketentuan syariat, walaupun banyak dikerjakan orang, tetap tidak boleh diamalkan.
Muhammad Iklil | Annajahsidogiri.id