Selanjutnya, ada yang mengajukan pertanyaan ingkar, jika perempuan haid diharamkan puasa, berarti tidak ada kewajiban, kalau tidak ada kewajiban mengapa harus mengganti? Al-Imam al-Baijuri dalam kitabnya, Hâsyiyah al-Baijûrî (1/561), menyebutkan bahwa, menurut pendapat yang lebih kuat, pada dasarnya perempuan haid memang tidak diwajibkan berpuasa. Namun, ia tetap berkewajiban mengganti puasanya, sebab ada perintah baru yang mewajibkan perempuan haid mengganti puasanya.
Baca Juga: Menjawab Penulis Liberal Soal Puasa Perempuan Haid (Bagian II)
Kedua, dalam puasa memang tidak ada syarat harus suci (thahârah), karenanya orang junub pun sah puasanya. Yang ada hanya syarat harus bersih (naqâ’) dari darah haid atau nifas. Ulama pun berbeda-beda dalam menjelaskan perihal hikmah perempuan haid dilarang berpuasa, padahal tidak ada syarat harus suci. Sebagian ulama berpendapat bahwa hikmahnya tidak dapat dinalar akal (ta‘abbudî).
Al-Imam al-Bajuri menyebutkan:
وَعَدَمُ صِحَّتِهِ مِنْهَا أَمْرٌ لَا يُدْرَكُ مَعْنَاهُ كَمَا قَالَهُ الْاِمَامُ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ لَيْسَتْ شَرْطًا فِيْ الْصَوْمِ
“Ketidaksahan puasa perempuan haid adalah sesuatu yang tidak dapat dinalar maknanya (ta‘abbudî), sebagaimana ditegaskan Imam al-Juwaini, sebab sesuci tidak menjadi syarat dalam puasa.”
Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa hikmahnya dapat dinalar maknanya (ta‘aqqulî). Syekh Sulaiman al-Bujairami, dalam kitab Hâsyiyah al-Bujairami ala al-Khathîb (2/382), mengatakan:
قَوْلُهُ: (لَا يُدْرَكُ مَعْنَاهُ) وَالصَّحِيْحُ أَنَّهُ أَمْرٌ مَعْقُوْلُ الْمَعْنَى، وَذَلِكَ لِأَنَّ الحَيْضَ يُضْعِفُ الْبَدَنَ، وَالصَّوْمُ يُضْعِفُهُ، وَاجْتِمَاعُ مُضْعِفَيْنِ يُضِرُّ ضَرَرًا شَدِيْدًا، وَالشَّارِعُ نَاظِرٌ لِحِفْظِ الأَبْدَانِ
“Yang benar adalah hikmanya dapat dinalar maknanya. Demikian itu karena haid dapat melemahkan badan dan puasa juga membikin badan lemah. Berkumpulnya dua entitas yang dapat melemahkan adalah sangat berbahaya. Toh, Syari’ sendiri lebih fokus menjaga (keselamatan) badan.”
Pendapat Imam al-Bujairami di atas didukung oleh ilmu kedokteran modren. Secara medis, perempuan haid sangat tidak dianjurkan berpuasa. Sebab, sebagaimana dilansir halodoc.com (16/04/21), jika memaksa berpuasa akan mengalami dampak berikut:
Baca Juga: Menjawab Penulis Liberal Soal Puasa Perempuan Haid (Bagian I)
- Tubuh semakin lemas dan disertai pusing, akibat suplai oksigen yang rendah.
- Nyeri dada yang menyebabkan detak jantung lebih cepat dan napas pendek. Kondisi ini terjadi akibat rendahnya suplai oksigen pada jantung yang tidak bisa dibawa oleh sel darah, akibat rendahnya zat besi dalam tubuh. Pada kondisi yang parah, gejala ini dapat menyebabkan pembengkakan jantung hingga gagal jantung.
- Kulit pucat serta tangan dan kaki dingin. Gejala ini menandakan bahwa kadar zat besi dalam tubuh sangat rendah, sehingga mulai mengganggu peredaran darah pada anggota gerak (tangan dan kaki).
- Ingin mengonsumsi makanan tidak sehat. Pasalnya, kekurangan zat besi saat haid memicu keinginan mengonsumsi makanan tidak sehat. Misalnya, gorengan, makanan cepat saji, minuman manis, dan lainnya.
Dengan demikian, tidak heran bila ulama dahulu memasukkan perempuan haid dan nifas dalam katagori orang yang tidak mampu melakukan puasa secara syar‘i –karena dilarang syariat. Namun, dengan kemajuan ilmu sains, perempuan haid bukan hanya tidak mampu secara syar‘i, tapi juga secara hissi.
Alhasil, ditinjau dari aspek apa pun, mulai dari metode istidlal, kesesuaian dengan ruh dan maqashid syariah sampai ilmu pengetahuan modern, pendapat yang mengatakan perempuan haid boleh berpuasa adalah tidak benar sama sekali. Ia bukanlah ijtihad, hanya kegenitan berpikir belaka. Lain dari itu, dalam kasus ini, tidak ada peluang ijtihad lagi mengingat sudah ada konsensus (ijmâ‘) ulama. Hukum yang telah di-ijma-‘i bersifat qath‘i (definitif), sedangkan medan ijtihad terbatas pada hukum yang masih bersifat zhanni (asumtif-spekulatif). Wallahu a‘lam.
Moh. Nadi el-Madani | Peneliti Annajah Center Sidogiri