Pada tulisan sebelumnya, kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa fenomena becoming system (qanūn ash-shairūrah) yang terjadi pada alam materi merupakan bagian integral dari tatanan Rabbani yang diberlakukan-Nya di alam raya ini. Sehingga dengan demikian, kita tidak boleh memahami fenomena itu sebagai sesuatu yang terpisah dari sistem alam raya yang kepadanya materi tunduk, sebagaimana kekeliruan yang dilakukan oleh sebagian filsuf dan pemikir.
Baca Juga: Filsafat Proses dan Syariat Islam dalam Pandangan al-Buthi (Bagian IV)
Di antara kaidah ilmiah yang telah paten dan tidak boleh absen dari siapapun adalah, bahwa memahami bagian dari hakikat sesuatu tidak meniscayakan mengetahui hakikat sesuatu itu sebagaimana mestinya. Hal demikian karena menyegmentasi suatu hakikat dalam usaha memahaminya justru akan merusak gambaran yang benar dari keutuhan hakikat itu sendiri. Orang yang berpikir tentang kereta api, misalnya, namun abai dan tak memikirkan batang besi kokoh yang menjadi relnya, sudah pasti tidak akan mendapatkan pemahaman yang benar tentang hakikat kereta api itu sendiri.
Nah, jika kita memikirkan sistem menyeluruh yang berlaku di alam materi, yang berkenaan dengan aspek luar maupun aspek terdalamnya (jauhar), maka dalam penampilannya secara makro, sebenarnya sistem yang berlaku adalah tetap dan tidak mengalami perubahan apapun. Adapun becoming system hanya merupakan salah satu dari manifestasi sistem alam makro yang tetap dan tak berubah-ubah itu. Tentu sudah aksioma jika integrasi dan keterpaduan sistem ini bergantung pada keberadaan Pencipta, Penjaga, dan Pengatur sistem itu, yang bisa membikin sistem itu terus bergulir secara padu dan sempurna. Dialah Allah ‘azza wa jalla.
Al-Quran telah menjelaskan dengan sangat lugas akan sistem alam ini dan kaitannya yang tak terpisahkan dengan Pencipta, Penjaga, dan Pengaturnya. Allah berfirman yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya.” (QS. Ar-Rum: 25). “Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap.” (QS. Fathir: 41). Bahkan Asma Allah “al-Qayyūm” menunjukkan arti bahwa Allah senantiasa menjaga dan mengoperasikan tatanan alam yang diciptakan-Nya tanpa jeda.
Setelah kita memahami hakikat dari becoming system dengan merujuk pada sejumlah ayat al-Quran tersebut, sekarang tersisa suatu tema diskusi: bagaimana kita memadukan antara sistem alam yang berpijak pada perubahan yang terus-menerus, dengan tatanan syariat Islam yang dibangun di atas sistem yang tetap tanpa menerima perubahan betapapun ruang dan waktu terus berubah? Lalu bagaimana pula kaitannya dengan klaim bahwa syariat Islam harus terus selaras dan pantas untuk setiap ruang dan waktu? Hal inilah yang akan kita diskusikan pada tulisan berikutnya, insya-Allah.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri