Beberapa waktu lalu sempat viral pernyataan seorang tokoh yang mengatakan bahwa jilbab yang kita kenal dengan istilah ‘jilbab syar’i’ merupakan budaya Arab. Sedangkan Nusantara, telah memiliki jilbab khasnya yang disebut dengan ‘kerudung Nusantara’. Oleh karena itu, untuk tetap melestarikan budaya Nusantara ini seorang perempuan harus meninggalkan jilbab syar’inya kemudian beralih pada kerudung Nusantara.
Lantas, bagaimana sebenarnya kita menyikapi pernyataan tokoh tersebut?
Sebelum membahas lebih dalam, perlu diperjelas maksud dari jilbab syar’i dan kerudung Nusantara menurut pandangan tokoh tersebut. Jilbab syar’I yang dimaksud adalah jilbab panjang yang menutupi seluruh bagian kepala hingga menjuntai menutupi bagian dada. Sedangkan kerudung Nusantara adalah jilbab yang biasa dipakai oleh ibu nyai pada momen-momen tertentu. (Biasanya jilbab ini menampakkan sebagian kepala dan leher)
Untuk menyikapi pernyataan di atas maka perlu kita ketahui batasan-batasan aurat sesuai dengan ketentuan syariat. Bagaimanakah batasan aurat perempuan sesuai hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama?
Syekh Abdullah Shadruddin Muhammad bin Abdurrahman bin Husain ad-Dimasyqa dalam kitabnya, Rahmatul-Ummah fî Ikhtilâfil-Ummah menjelaskan batasan aurat menurut empat mazhab:
“Adapun aurat perempuan merdeka maka menurut Imam Abu Hanifah adalah seluruh badan kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki. Sedangkan menurut riwayat lain dari Mazhab Abu Hanifah, kedua telapak kaki merupakan aurat. Imam Malik dan Imam Syafii sepakat bahwa aurat adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Adapun Imam Ahmad, beliau memiliki dua riwayat. Salah satu riwayatnya mengatakan bahwa aurat adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Sedangkan pendapatnya yang paling masyhur adalah seluruh badan selain wajah”.
Dari penjelasan beliau di atas, setidaknya bisa kita tarik benang merah bahwa aurat perempuan adalah seluruh badan selain kedua telapak tangan dan wajah. Lantas, bagaimana hukum pemakaian kerudung Nusantara yang –seakan-akan– mendapat legalitas dengan bukti para ibu nyai di zaman dahulu banyak yang memakai kerudung tersebut?
Maka perlu diketahui bahwa para ibu nyai dahulu adalah orang-orang salihah yang sangat mengerti hukum agama. Jadi tidak mungkin beliau-beliau menampakkan auratnya pada selain mahramnya.
Adapun foto-foto beliau yang banyak tersebar itu adalah foto yang hanya terjadi pada momen-momen tertentu. Pun, beliau-beliau berfoto dengan mahramnya saja. Jadi tak berhukum haram jika auratnya terlihat oleh mahram mereka.
Namun permasalahannya adalah, foto-foto yang sebenarnya untuk pribadi tersebut justru disebar oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sehingga hal ini dijadikan celah oleh kaum Liberalis untuk mengonsep kerudung Nusantara.
Terakhir, penulis pertegas bahwa kerudung Nusantara yang jelas-jelas menampakkan aurat sangat dilarang keras oleh agama. Adapun orang yang berdalih boleh-boleh saja dengan alasan kerudung tersebut biasa dipakai oleh para ibu nyai dahulu, maka orang tersebut sangat tidak beretika. Selain karena menyebarkan aurat beliau, mereka juga menjadikan foto tersebut sebagai dalih untuk melegalkan kerudung Nusantara.
Ghazali | Annajahsidogiri.id