“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”
(QS. Ibrahim :7).
Berbicara tentang bersarnya karunia yang telah Allah limpahkan pada kita, tentu sebagai manusia kita tidak akan pernah bisa menjangkau hal itu. Kita sebagai manusia seringkali lupa dengan esensi nikmat yang telah Allah limpahkan pada kita. Sehingga nikmat hanya terbayang berupa sesuatu yang konkret dari kenikmatan-kenikmatan duniawi.
Akibatnya pemahaman kita terhadap tambahan nikmat yang telah Allah janjikan kepada hambanya akan terasa absurd. Lantas seperti apa hakikat tambahan nikmat yang dikehendaki oleh ayat di atas, berupa hartakah, pangkatkah, atau yang lain?
Dalam Tafsîr ash-Shậwi dijelaskan bahwa yang dikehendaki ‘tambahnya nikmat’ pada ayat di atas adalah tambahnya nikmat berupa kebaikan dunia dan akhirat. Nikmat dalam dua hal tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:
Pertama
Nikmat duniawi, yaitu nikmat yang berkaitan dengan jasmani. Nikmat ini terbagi menjadi dua yaitu nikmat manfaat dan nikmat yang sifatnya menolak mudhậrat. Nikmat manfaat yaitu Allah menganugerahi kemanfaatan, seperti fisik yang seimbang dalam keselamatan dan kesehatan. Sedangkan nikmat yang sifatnya menolak mudhârat seperti menyelamatkan manusia dari kelemahan nafsu diri, menjauhkan dari berbagai macam rintangan atau yang bermaksud jahat.
Kedua
Nikmat akhirat, yaitu nikmat yang berhubungan dengan rohani seperti nikmat taufiq, nikmat makrifat dan lain sebagainya (Minhậjul-âbidin hal. 300).
Lantas bagaimana jika ada orang yang merasa mendapat nikmat tanpa bersyukur, akankah itu merupakan ziyadah, padahal dia bukan termasuk orang-orang yang bersyukur? Tentu saja nikmat tersebut bukanlah nikmat sejati melainkan keberadaanya hanyalah istidraj yang Allah berikan kepadanya. Terkait hal ini, Ibnu ‘Athaillah dalam al-Hikậm mengatakan demikian: “Takutlah Anda atas karunia Allah yang selalu Anda dapatkan, (sedangkan) Anda tetap berbuat buruk pada-Nya, sebab bisa jadi hal itu merupakan istidraj bagi Anda (yang lama-lama akan menghancurkan Anda), akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui”.
Wal-hậsil, penjelasan di atas mengemukakan bahwa yang dikehendaki dengan tambahan nikmat pada ayat di atas tidak melulu mengarah pada tambahan nikmat duniawi yang bersifat konkret tapi juga meliputi pada setiap aspek kenikmatan akhirat yang bersifat abstrak dan jarang sekali disadari oleh manusia, seperti nikmat ketaatan. Dalam hal ini kenikmatan akhirat yang bersifat abstrak seringkali diabaikan, padahal keberadaannya jauh lebih berharga ketimbang nikmat yang bersifat duniawi. Wallậhu a’lam.
Rifqi Ja’far Shadiq | Annajahsidogiri.id