Beberapa bulan yang lalu kita dikejutkan oleh sebagian tokoh agama yang mendukung LGBT. Sebelumnya, muncul kritikan terhadap pemakaian cadar. Bahkan, salah satu universitas ‘Islam’ ternama pernah melarang para mahasiswinya menggunakan cadar. Kemudian, baru-baru ini salah satu partai di Indonesia berani menggugat poligami dan menyatakan bahwa poligami bukan termasuk syariat Islam. Astaghfirullâh.
Baca Juga: Lima Karakteristik Islam Liberal
Berbagai propaganda pengkaburan dan pembredelan syariat terus dilancarkan oleh para aktivis Liberal. Tujuannya jelas, untuk menimbulkan keraguan di dalam diri umat Islam. Pada dasarnya, usaha-usaha de-islamisasi (penghilangan nilai-nilai agama Islam) ini sudah dirintis semenjak abad ke 12 Masehi oleh para Orientalis, untuk menjauhkan umat Muslim dari ajaran Islam (al-Mustasyriqûn hal. 4). Usaha-usaha tersebut terus dimunculkan hingga pada abad ke 20 ini. Akibatnya, sebagian umat Muslim yang silau dengan kemajuan peradaban Barat terpengaruh dan membebek hasil kajian yang dilakukan oleh para Orientalis tersebut. Ujungnya, mereka berkata “al-Quran sudah tidak relevan (layak) pada zaman ini, al-Quran membutuhkan penafsiran yang lebih sesuai dengan kebutuhan abad ini”. Lantas benarkah kitab al-Quran yang turun 14 abad silam sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan abad 21 ini? Apakah benar keharaman LGBT serta pensyariatan cadar dan poligami sudah tidak layak lagi?
Pemberlakuan al-Quran untuk seluruh manusia adalah bersifat mutlak dan selamanya. Tidak dibatasi ruang dan waktu tertentu. Keuniversalan al-Quran sebenarnya sudah disinggung oleh Rasulullah sepulang dari haji Wada. Allah berfirman; “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan padamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. al-Maidah [03]:03). Maka, sejak saat itu setiap ayat al-Quran yang bersifat qath’i (pasti dan tegas redaksinya) tidak akan pernah berubah hingga akhir zaman.
Masalah suka pada lawan jenis (LGBT), pemakaian nikab/cadar dan poligami tidak bisa dihalalkan atau diharamkan sesuai kehendak hawa nafsu. Termasuk dengan dalih tidak cocok dengan perkembangan zaman. Karena realitanya, orang-orang pada abad ke-21 masih sepakat bahwa perilaku LGBT merupakan perbuatan keji. Tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan suka pada lawan jenis. Manusia juga masih setuju bahwa perempuan yang bercadar lebih terlindungi dari tangan-tangan jahil daripada perempuan yang berpenampilan seksi dan memakai rok mini. Begitu juga tentang poligami, masih banyak laki-laki yang menggunakan hak untuk berpoligami dengan adil. Tidak bisa pelanggaran sebagian oknum dijadikan sebagai hakim untuk mengharamkan poligami. Kesimpulannya, semua hal yang telah ditetapkan di dalam al-Quran secara tegas (qath’i) ini masih layak diberlakukan dan akan tetap layak sampai kapanpun.
Pada intinya, perlu kita sadari bahwa di antara tujuan peletakan syariat Islam adalah untuk menjauhkan orang mukalaf dari dorongan hawa nafsu. Gugatan-gugatan yang berkenaan dengan permasalahan di atas hanya akan terjadi ketika seseorang telah terdorong oleh hawa nafsu untuk melakukan hal yang sudah jelas dilarang agama. Kemudian, berbagai cara mereka lakukan agar tujuan tersebut tercapai. Bahkan, sampai merombak kembali syariat, menghalalkan perkara haram ataupun mengharamkan perkara yang jelas halal. Padahal kita tahu, bahwa hal ini (merombak syariat) dapat menjerumuskan seseorang kepada kekufuran. Na’ûdzubillâh min dzâlik.
Abdul Muid | Annajahsidogiri.id