Sebagai sebuah organisasi, Jaringan Islam Liberal (JIL) kini tidak banyak lagi kita dengar aktivitasnya. Tapi bukan berarti mereka sudah musnah. Bisa jadi, sebagai sebuah organisasi memang sudah bubar, tapi sebagai sebuah ide, liberal tidak akan pernah benar-benar hilang.
Saya rasa ada kesadaran dalam jiwa mereka, bahwa mereka tidak akan pernah mendapat empati masyarakat jika masih tetap menamakan dirinya sebagai Islam Liberal. Akhirnya mereka mencari cara baru. Menyamar menjadi apapun agar ide yang mereka bawa berjalan mulus.
Baca Juga: Kelompok Anti-Taqlid; Setali Tiga Uang Liberal-Wahabi (1/2)
Selanjutnya, dalam pembahasan kajian Aswaja, para pakar menganggap liberal sebagai gerakan ekstrem garis kiri. Gerakan ekstrem garis kiri ini adalah istilah bagi sebuah gerakan yang mudah menghalalkan segala hal yang sesuai dengan selera mereka. Bahkan walaupun bertentangan dengan nash sekali pun. Dalam kitab “Risalatu Ahli al-Sunnah wal Jamaah” karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari menyebut mereka dengan “ibahiyun“. Selain ekstrem garis kiri, kita juga mengenal ekstrem garis kanan. Garis kanan ini biasanya berisi gerakan-gerakan takfiri seperti Syiah dan Wahhabi.
Nah, dalam rangka mewaspadai gerakan Islam Liberal yang biasanya beroperasi diam-diam, kita perlu memahami isu-isu yang sering mereka kembangkan dalam misinya menyebarkan paham liberalisme Indonesia. Inilah lima karakteristik Islam Liberal.
Pertama, relativisme. Relativisme adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh siapa pun. Benar itu relatif. Tidak mutlak. Tidak ada yang mengetahui kebenaran kecuali Allah.
Dari teori ini kaum liberal kemudian mulai masuk merusak akidah yang selama ini diyakini oleh umat Islam. Misalnya, mereka mengatakan, “Agama yang kau anggap benar bisa jadi salah. Agama yang kau anggap salah bisa jadi benar.”
Baca Juga: Kelompok Anti-Taklid; Setali Tiga Uang Liberal-Wahabi (2/2 – Habis)
Kedua, desakralisasi. Kaum liberal selalu memiliki masalah dengan kesulitan mencari nash al-Qur’an dan Hadis. Setiap terjadi diskusi ilmiah mereka akan kewalahan membantah argumen lawan yang bersumber dari nash al-Qur’an dan Hadis. Oleh karenanya, mereka menganggap tidak ada yang benar-benar sakral di dunia ini. Ini yang kemudian dikenal dengan desakralisasi. Salah satu contoh desakralisasi yang sering mereka ucapkan, “Al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), al-Qur’an tidak jauh berbeda dengan buku-buku sejarah”
Ketiga, pluralisme agama. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Jargon yang biasa mereka kampanyekan adalah, “Sebuah agama adalah jalan menuju tuhan yang sama”.
Keempat, dekonstruksi syariah. Secara sederhana, dekonstruksi syariah berarti meruntuhkan dan membongkar Syariah Islam. Dengan konsep ini, kaum liberal berusaha membangun kembali Syariah Islam yang mereka nilai sudah tidak relevan lagi. Ketentuan Allah dan Rasul-Nya sudah bisa bisa berubah sebab ketentuan manusia. Contoh upaya dekonstruksi syariah yang sering mereka angkat adalah tentang isu kewajiban hijab dan laranagan kawin sesama jenis. Mereka tidak mewajibkan hijab dan memperbolehkan kawin sesama jenis.
Baca Juga: Antara Liberal, Muktazilah dan Iblis
Kelima, feminisme. Ini adalah paham kesetaraan gender. Awalnya, mereka akan membentuk sebuah opini bahwa agama telah berlaku ‘tidak adil’ kepada wanita. Lambat laun mereka akan membentuk subuah massa dengan dalih memperjuangkan keadilan. Padahal Islam tidak mendiskreditkan wanita. Dalam Islam antara wanita dan pria sama-sama memiliki kans yang sama untuk menjadi hamba kesayangan Allah.
Itulah lima karakteristik yang menjadi ciri khas Islam Liberal. Kini, Islam Liberal bukan lagi sebuah organisasi. Tapi dia bisa berbentuk institusi pendidikan, menyelinap dalam ormas Islam, bahkan bisa menjelma dalam bentuk pengajian-pengajian. Memahami lima karakteristik ini akan membantu kita untuk mewaspadai pergerakan Islam Liberal, di manapun mereka berada dan mewujud dalam bentuk apapun. Wallahu a’lam.
Luthfi Abdoellah Tsani|Peneliti Annajah Center Sidogiri