Abad ketiga hijriyah adalah masa keemasan ilmu pengetahuan Islam. Periode ini menyaksikan berbagai peristiwa penting dalam bidang pemikiran yang memiliki pengaruh besar dalam ilmu teologi (kalam) secara khusus dan ilmu keislaman secara umumnya. Dengan kebebasan berpikir bagi setiap ilmuan.
Baca Juga: Pesantren dan Upaya Menghidupkan Generasi Ihya’ dan al-Ghunyah
Meskipun abad ketiga Hijriyah merupakan masa-masa keilmuan Islam, bukan berarti umat Islam bebas dari ancaman dan tantangan. Justru pada waktu itu berbagai macam aliran berkembang cukup pesat yang membahayakan umat Islam. Al-Hafizd Ibnu Asakir dalam kitabnya, Tabyin Kidzb Al-Muftari menggambarkan keadaan pada waktu itu. “Setelah tahun 260 H berlalu, tokoh-tokoh ahli bid’ah angkat kepala dan masyarakat awam berada dalam ancaman, bahkan ayat-ayat agama mulai terhapus bekasnya dan bendera kebenaran mulai terhapus kabarnya”.
Salah satu aliran sesat yang berkembang pesat pada waktu itu adalah Muktazilah. Aliran yang digagas oleh Washil bin Atha’ ini menjadikan akal sebagai penentu hukum (hakim). Mereka berpendapat bahwa al-Quran adalah makhluk. Karena menurut mereka setiap sesuatu yang diciptakan oleh Allah adalah makhluk.
Ketika itu Imam al-Asy’ari tampil sebagai pembela Ahlusunah wal Jamaah. Dia menentang ajaran Muktazilah yang mendahulukan rasio (akal) sebagai penentu hukum dari pada teks al-Quran dan hadis. Ketekunan dan kemampuan penguasaan ilmu keislaman yang dimiliki Imam al-Asy’ari mampu mempercepat tersebarnya ajaran yang dibawanya. Paham al-Asy’ariyah yang mendahulukan teks al-Quran dan hadist dari pada akal mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat. Karena ajarannya yang bersifat sederhana dan tidak terlalu filosofis.
Dewasa ini, mulailah naik istilah-istilah sekular, pluralisme, liberalisme, dan segala devasinya. Umat Islam dipaksa keluar dari zona nyaman mereka. Mereka yang tidak memiliki dasar agama yang kuat, perlahan-lahan dapat ditarik kedalam peruntuhan agama Islam. Pemikiran yang diwanti-wanti oleh para ulama akhirnya mereka adopsi tanpa sadar. Yang mengakibatkan identitas Umat Islam perlahan mulai kabur, popularitasnya mulai redup, kebanggaan terhadap agamanya mulai hilang, yang sunah dianggap bid’ah (mengada-ada) dan yang bid’ah justru dianggap sunah.
Inilah hal lucu yang patut ditertawakan sekaligus ditangisi. Yang mana masa-masa ketika cahaya Islam mulai meredup dan umat Islam takut untuk unjuk gigi. Mereka para libralis dan pengasong pemikiran nyelenih lainnya, sejatinya hanya mengulang sejarah dizaman ulama klasik, sudah ada pengasong yang lebih tangguh dari pada mereka.
Karena itu kita harus bangun dan terus membaca. Buka kembali al-Quran mu, yang mungkin telah usang karena jarang kamu baca, atau kitab-kitab karya ulama’ yang dulu mereka tulis tanpa memikirkan royalti dan keuntungan. Sebab sebaik-baiknya keuntungan adalah kemenangan Islam.
Ahmad Maulana | Annajahsidogiri.id
Comments 0