Hingga kini saya terus berusaha memaksakan diri agar terbiasa memahami “kemajuan” secara Islami. Bagi saya, mafhum “kemajuan” dalam Islam berbeda dalam arti yang dimengerti orang kebanyakan saat ini. Bukankah ketika kata maju disebutkan, paham aksiomatisnya adalah mengikuti sesuatu yang saat ini sedang ngetren, yang dianggap hebat dan karenanya digandrungi?
Sampai saat ini saya tidak menemukan arti kemajuan seperti itu dalam bingkai Islam. Mafhum “kemajuan” yang Islami malah sebaliknya. Maju dalam Islam berarti berenang ke hulu, dan bukan berselancar ke hilir. Karena Islam punya sumber, dan semakin Anda dekat dengan sumber itu, Anda semakin jernih dan semakin maju. Begitupun sebaliknya.
Coba perhatikan sabda Rasulullah Saw berikut; “Kurun terbaik adalah kurunku kemudian periode berikutnya dan berikutnya lagi”. Artinya, semakin kita mengikuti tren periode yang menjauh dari era kenabian, keadaan kita akan semakin buruk dan karenanya tak bisa dibilang maju. Habib Ahmad bin Hasan al-Attas dalam tadzkîrah an-Nas mengatakan “man arâda an yataqaddam falaiyhi bil mutaqaddimîn wan man arâda an yataakhkhara falaiyhi bil mutakhkhirîn.”
Baca Juga: Kenapa Tidak Boleh Taklid dalam Akidah?
Jadi jika kita melangkah ke belakang, sehingga dekat dengan nuansa hidup nubuwah, kita akan semakin maju, betapapun mungkin tren ini dibilang asing untuk ukuran masa kini. Mungkin itulah sebabnya Rasulullah Saw bersabda “Islam berawal dari keterasingan, dan akan berakhir keterasingan beruntunglah bagi orang-orang yang terasing”
So, beruntunglah orang-orang yang diklaim “kampungan” gara-gara mengikuti tren dan gaya hidup Rasulullah Saw bersama para sahabat beliau. Sebab esensi dan nilai-nilai dari “kampung” itu pada hakikatnya luhur, hanya kemudian kita kalah dengan cibiran orang-orang yang sok maju dan degan itu kita malah minder.
Bukankah “kampungan” itu berasal dari kata “kampung”? Dan, marilah kita perhatikan nilai-nilai luhur dari masyarakat kampung: di dalamnya ada kesederhanaan, kebersahajaan, saling menghormati, tolong menolong, kerendahan hati, dan menghargai antar sesama. Nilai-nilai masyarakat kampung ini demikian mulia, sehingga tidaklah tepat jika kata “kampungan” dikonotasikan dengan kekolotan dan keterbelakangan. Dan malah, nilai-nilai kampung yang luhur kampung itu justru menjadi dambaan masyarakat perkotaan, meski sayang mereka tidak pernah benar-benar mewujudkannya.
Achyat Ahmad | annajahsidogiri.id