Ulama Fikih menjelaskan, bahwa hukum orang yang tidak melaksanakan salat terbagi menjadi dua. Pertama, tidak sampai murtad, apabila ia hanya meninggalkan salat karena malas dan tetap meyakini bahwa hukum salah itu wajib. Kedua, murtad (keluar dari Islam), apabila ia meninggalkan salat karena meyakini bahwa salat tidak wajib. Keterangan semacam ini bisa kita temukan dalam beberapa kitab, seperti Hâsyitusy-Syeikh Ibrâhim al-Baijurî ‘alâ Syarhil-Alamah Ibni Qâsim al-Ghâzi, hlm. 485.
Yang pertama tidak akan kita bahas, bukan karena mengentengkan. Akan tetapi, dari segi konsekuensi, pembagian yang kedua memiliki efek fatal pada keimanan, tidak seperti yang pertama. Mirisnya, ada sebagian (untuk tidak mengatakan banyak) masyarakat yang kepercayaannya kepada salat, seperti tergambar dalam pembagian yang kedua.
Alasan yang digunakan kadang nampak “agamis”. Salat tidak wajib, kata mereka, karena yang penting adalah ingat kepada Allah. Keyakinan ini kemudian berubah menjadi semacam standar keimanan tingkat tinggi. Tidak salat adalah puncak keimanan. Mereka yang masih salat justru dianggap “pemula” dalam beriman. Bahkan yang sudah belajar ilmu agama sekali pun, kadang tergoda untuk mengikuti keyakinan ini karena merasa sudah menemukan peluang menuju kedalaman iman.
Posisi Amal dalam Agama
Apa pun alasannya, keyakinan salat tidak wajib itu salah. Bahkan berhukum murtad. Namun sepertinya, dengan ditambah alasan “agamis,” keyakinan ini nampak lebih mengggoda. Demi menghindari godaan itu, kita harus mengerti posisi amal.
Amal ibadah memiliki posisi tersendiri dalam agama. Ia memiliki fungsi yang bisa menjadi acuan tambah dan kurangnya iman seseorang. Semakin banyak orang itu beramal, berarti tingkat keimannya semakin bertambah. Dan begitu pula sebaliknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Baijuri dalam kitabnya, Tuhfatul-Murîd Syarh Jauharatit-Tauhid, hlm. 34-45.
Allah berfirman:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُه زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.”
Menurut Imam Ibnu Kastir dalam kitabnya, Tafsîr Ibni Kastîr juz 2, hlm. 489, ayat ini merupakan salah satu dalil bahwa iman bisa berkurang dan bertambah. Beliau bahkan mengatakan tidak sedikit ulama yang mengatakan pendapat ini sudah menjadi konsensus ulama.
Abdullah bin Umar pernah bertanya kepada Rasulullah, “Apakah iman itu bisa bertambah?” Rasulullah menjawab, “Iya, iman itu bertambah sampai memasukkan orang yang beriman ke surga, dan berkurang sampai bisa memasukkan pemiliknya ke dalam neraka.”
Hadis ini ditampilkan, salah satunya, oleh Imam al-Baidhawi, dalam Tafsîr al-Baidhawi juz 1, hlm. 413 saat membahas iman bisa bertambah dan berkurang sebab amal perbutan. Semakin banyak amal, semakian tebal pula iman seseorang.
Jika kita mengikuti pendapat ulama yang berdasarkan pada al-Quran dan hadis tadi, maka nampak bahwa klaim orang-orang yang mengatakan tidak salat adalah puncak keimanan salah besar. Harusnya, semakin banyak orang melaksanakan amal ibadah, termasuk salat, iman dia akan semakin bertambah, tidak sama dengan mereka yang jarang melaksanakan ibadah.
Walhasil, meyakini salat tidak wajib salah dan suatu kekufuran. Lalu, menganggap tidak salat adalah puncak keimanan juga salah. Wallhu a’lam.
Badruttamam | Tauiyah