Minimnya ilmu dalam memahami al-Quran dan hadis bisa menyebabkan kita tersesat dari pemahaman yang diinginkan oleh ayat atau hadis tersebut. Salah satunya dalam kasus hukum rukiah. Memang ada segelintir oknum ustaz yang menolak rukiah dengan dalil di antaranya:
إن الرقى والتمائم والتِّوَلَة شرك
“Sesungguhnya rukiah (mantera), tamimah (jimat) dan tiwalah (pelet) adalah kemusyrikan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim).
Sebelum kita melihat penjelasan sebenarnya dari hadis di atas, mari kita simak fatwa para ulama dalam permasalahan hukum rukiah.
Jika kita buka kitab para ulama, justru kita akan mendapati bahwa mereka membolehkan praktik rukiah, yakni membaca ayat al-Quran dan zikir-zikir untuk menyembuhkan penyakit, yang kemudian disebut dengan istilah ruqyah syar’iyyah.
Imam an-Nawawi berkata:
و قد نقلوا بالاجماع على جواز الرقى بالآيات و اذكار الله
Dan sungguh telah dinukil adanya ijmak bolehnya rukiah dengan ayat-ayat dan kalimat dzikrullah Ta’ala.” (Syarh Shahih Muslim).
Pernyataan tentang kebolehan melakukan rukiah ini juga telah dinyatakan di dalam berbagai kitab fikih. Seperti dalam al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah (11/123), Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (9/65), Bidâyah al-Mujtahid (4/9) dan lainnya.
Ulama Menentang Hadis?
Dari fatwa di atas kita mengetahui bahwa bukan hanya ada satu dua ulama yang membolehkan rukiah, tapi seluruh ulama telah sepakat (ijmak) akan kebolehannya.
Bagi mereka yang dangkal cara berfikirnya, akan langsung menolak dengan kaidah: “Pendapat siapa pun kalau bertentangan dengan ayat atau hadis wajib ditinggalkan. Karena perkataan manusia bisa salah sedangkan wahyu sudah pasti benar.”
Betul demikian, tapi masalahnya apakah memang para ulama yang telah dikenal kredibilitasnya berani kurang ajar mengangkangi wahyu? Atau justru kita yang sok ndalil dan merasa paling tahu?
Orang yang mendalam ilmunya dan memiliki fitrah bersih akan selalu berprasangka baik kepada para ulama, tidak serta merta menuding bahwa mereka telah melontarkan fatwa yang bertentangan dengan hadis. Karena bagaimana pun para ulama—terlebih ulama mazhab yang telah dikenal berpegang teguh kepada dalil—mustahil membuat fatwa yang berseberangan dengan ayat atau hadis.
Dalil-Dalil Bolehnya Rukiah
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Said al-Khudri: “Pada suatu hari kami berada dalam perjalanan, lalu kami bermalam di satu dusun. Tiba-tiba seorang budak perempuan datang dan
berkata: “Sesungguhnya kepala desa ini sakit dan tak seorang pun dapat mengobatinya. Adakah di antara tuantuan yang dapat mengobatinya?”
Salah seorang dari rombongan berdiri dan mengikuti budak tadi. Kami tidak mengira ia dapat menjadi dukun. Si sakit dimanterainya lalu sembuh. Ia diberi hadiah 30 ekor kambing. Ketika ia kembali kami bertanya: “Apakah engkau membolehkan mantera dan apakah engkau tukang mantera?” Ia menjawab: “Tidak, saya bukan tukang mantera tetapi saya hanya membaca surah alFatihah.”
Ketika peristiwa ini dikabarkan kepada Rasulullah, beliau berkata: “Dari mana kalian tahu bahwa surat itu (al-Fatihah) adalah rukiah, bagilah hadiah itu dan berikan saya sebagian darinya.”
Ada juga kisah Utsman bin Abil Ash, yang mengadukan rasa sakit di badannya kepada Rasulullah, Lalu beliau menyuruhnya: “Letakkanlah tanganmu di atas tempat yang sakit dari tubuhmu,” lalu beliau mengajarkan doa:
أعوذ بعزة الله وقدرته من شر ما أجد وأحاذر
Aku berlindung dengan keperkasaan Allah dan kekuasaan Nya, dari kejelekan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan.” (HR. Muslim).
Dan masih banyak lagi riwayat lain yang bukan hanya membolehkan praktik rukiah dengan ayat dan zikirzikir. Namun Rasulullah langsung yang mencontohkannya.
M Fuad Abdul Wafi | Annajahsidogiri.id