Dalam konsep ketuhanan, Allah adalah tuhan bagi semesta alam. Tuhan yang menciptakan serta mengatur semua makhluk dan Allah maha kuasa untuk melakukan apapun. hal tersebut sebagaimana dalam al-Qur’an:
وَلِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ࣖ
Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali-Imran[3] 189)
Selaras dengan pemahaman di atas, Imam Ibnul-Arabi dalam al-Milal Wan-Nihal mengatakan: “Kalau begitu mampukah Allah menciptakan anak? Jika tidak maka Allah lemah, lalu apakah qudratullah juga terbatas?” Lantas bagaimana Ahlussunnah menanggapinya?
Menurut kacamata Ahlussunnah, pernyataan yang disampaikan Ibnul-Arabi di atas tidak bisa dibenarkan. Karena secara hakikat tidak ada batasan mutlak bagi Allah. Namun, pernyataan di atas tetap harus ditolak Dengan berdasarkan dua hal:
- Bertentangan dalil al-Qur’an surah al-Ikhlas ayat tiga.
- Menciptakan anak bagi Allah tidak termasuk ta’aluknya sifat qudrat.
Imam As-Sanusi dalam kitabnya Ummul-Barahin menjelaskan bahwa, Qudratullah hanya berta’aluk (berhubungan) pada perkara yang masuk akal (mumkin). Sedangkan dalam hal wajib dan mustahil termasuk didalamnya menciptakan anak, otomatis dikecualikan darinya. Allah menciptakan anak sejatinya merupakan hal yang mudah. Namun, hal tersebut mustahil dan bertentangan dengan ayat al-Qur’an. sedangkan perkara mustahil tidak masuk dalam cakupan qudratullah.
Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pernyataan Ibnu Arabi di atas tidak bisa dibenarkan, hanya karena tidak menciptakan anak tidak serta merta menilai Allah lemah. Karena batas qudratullah bisa dikatakan lemah jika tidak mampu pada cakupan hal yang masuk akal (mumkin). Sedangkan adanya anak bagi Allah adalah hal yang mustahil berdasarkan dalil al-Qur’an. Syekh Ibrahim al-Laqani dalam kitab Tuhfatul-Murid memberikan perumpamaan sebagaimana berikut, “Bisakah mata dikatakan cacat ketika ia tidak bisa mendengar? Padahal mendengar bukanlah termasuk fungsi dari mata. Begitu juga dengan qudratnya Allah. Bagaimana bisa dikatakan lemah disebabkan perkara yang tidak ada sangkut paut dengannya bahkan mustahil baginya”.
As’adinnas | Annajahsidogiri.ID