Kerap terjadi fitnah atau syubhat yang dituduhkan kepada umat Islam terkait al-Quran. Salah satunya ungkapan bahwa al-Quran sudah tidak asli lagi. Kaum Liberal menilai bahwa kejadian pembakaran al-Quran di zaman khalifah Sayidina Usman adalah bukti bahwa kitab suci umat Islam sudah tidak sama lagi dengan yang ada di zaman Rasulullah Saw. Mereka menegaskan bahwa mushaf-mushaf yang ada pada setiap para shahabat telah dibakar. Begitu juga dengan dua surat yang ada dalam mushaf Ubay bin Ka’ab yang tidak ditulis di dalam al-Quran versi saat ini, yaitu surat al-Khul’u dan surat al-Hifdu. Dua surat ini menjadi polemik saat ini kenapa tidak termaktub. Padahal Ubay bin Ka’ab adalah shahabat Nabi yang telah mendapatkan validasi akan kehebatannya dalam masalah al-Quran. Dengan berpijak pada polemik-polemik inilah, mereka kemudian berkata bahwa distorsi dalam al-Quran memang terjadi. Benarkah apa yang dikatakan oleh kaum Liberal tersebut? Benarkah terjadi distorsi di dalam al-Quran? Selanjutnya mari kita jawab tuduhan ini dengan kajian ilmiah yang argumentatif.
BENARKAH AL-QURAN SUDAH TIDAK AUTENTIK?
Tuduhan mengenai al-Quran sudah tidak lagi autentik bukan hanya terjadi satu-duakali saja semenjak al-Quran dibukukan pertama kali oleh khalifah Sayidina Utsman. Artinya, umat Islam dari generasi ke generasi nyaris selalu mendengar tuduhan sepihak bahwa kitab suci umat Islam sepeninggal Nabi sudah tidak asli lagi. Tentu saja, apa yang mereka katakan tersebut sama sekali tidak benar. Sebab memang sudah menjadi kekhususan tersendiri bahwa al-Quran adalah satu-satunya kitab suci yang Allah I jaga sampai hari kiamat. Namun, agar lebih ilmiah lagi dan untuk mematahkan tuduhan-tuduhan yang ada dengan jawaban yang argumentatif, di sini penulis akan menanggapinya, dengan menjelaskannya 3 poin berikut.
Pertama, Allah I telah berfirman dalam surat al-Hijr ayat ke 9;
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang menjaganya. (Q.S. Al-Hijr [09])
Para ulama tafsir, seperti Imam al-Baghawi dalam kitab Ma’âlimut-Tanzîl menjelaskan bahwa maksud dari ayat di atas adalah;
نَحْفَظُ الْقُرْآنَ مِنَ الشَّيَاطِينِ أَنْ يَزِيدُوا فِيهِ أَوْ يَنْقُصُوا مِنْهُ أَوْ يُبَدِّلُوا
Kami yang menjaga al-Qur’an dari para setan, baik dalam hal penambahan, pengurangan atau pergantian dalam al-Qur’an.
Ini dalil yang sangat jelas bahwa al-Qur’an akan tetap terjaga sampai kapan pun dan di mana pun.
Kedua, pembakaran al-Qur’an di zaman khalifah Sayidina Usman adalah bentuk kehati-hatian para shahabat dalam menjaga dan merawat semua hal yang berkaitan dengan agama. Termasuk dalam urusan al-Qur’an. Sebab, jika mushaf-mushaf yang berbeda tersebut terus dibiarkan, maka para shahabat saat itu khawatir akan menjumpai banyaknya bacaan-bacaan yang berbeda di antara manusia. Sehingga hal tersebut akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat dalam hal tata baca. Maka para sahabat berinisiatif menyatukan al-Quran dalam dialek orang Quraisy. Dan syarat bacaan yang diterima harus mutawatir. Sehingga bacaan surat atau tulisan yang hanya dari perorangan tidak akan diterima. Ini adalah salah satu penjagaan Allah I kepada al-Qur’an. Sehingga saat mulai ada perpecahan terkait cara membaca dan lain-lain, Allah I mengetuk hati para shahabat untuk bersatu dan menjaganya.
Ketiga, terkait surat al-Khul’u dan al-Hifdu yang ada pada mushaf Ubay bin Ka’ab. Mengapa dua surat tersebut tidak termaktub di dalam al-Qur’an? Alasannya adalah karena dua surat itu telah di-nusakh tilawahnya. Namun, dua surat tersebut tetap dibaca oleh para shahabat sebagai doa qunut. Sedangkan yang menasikh dua surat itu adalah beberapa hadis sahih yang memang kita dianjurkan untuk membacanya dalam doa qunut.
Dalam hal ini, Imam as-Suyuthi berkomentar dalam kitab al–Itqân Fî ‘Ulûmi al–Qur’an;
قَالَ الْحُسَيْنُ بْنُ الْمُنَادي فِيْ كِتَابِهِ ” النَّاسِخُ وَالْمَنْسُوْخُ “: ” وَمِمَّا رُفِعَ رَسْمُهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَلَمْ يُرْفَعْ مِنَ الْقُلُوْبِ حِفْظُهُ سُوْرَتَا ” الْقُنُوْتِ فِيْ الْوِتْرِ ” وَتُسَمَّى سُوْرَتَيْ الْخُلْعِ وَالْحِفْدِ “
Imam Husain bin al-Munadi berkata dalam kitabnya an-Nâsikh wa al–Mansûkh, “Termasuk sebagian al-Qur’an yang dihilangkan tulisannya tetapi ditetapkan dalam hati para shahabat adalah dua surat yang dibaca pada saat qunut salat witir. Yaitu surat al–Khul’u dan al–Hifdu.”
Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi juga berkomentar dalam kitabnya Adlwa al–Bayân bahwa kedua surat itu telah dinusakh dengan hadis yang mutawatir.
Oleh karena itu Imam as-Suyuthi menulis kitab Ithâf al-Wafdi bi Nabai Sûratai-Khul’i wal-Hifdi yang menjelaskan beberapa hadis khusus terkait anjuran kita membaca dua surat tersebut.
Muhammad Fuad Abdul Wafi | Peneliti Annajah Center Sidogiri