Tidak akan pernah kita dengar dan kita lihat dalam kitab para ulama salaf maupun khalaf pernyataan yang melarang perayaan maulid Nabi, baik dengan cara berpuasa, sedekah, sujud syukur atau dengan cara seremonial yang kerap terjadi, dan lebih familiar dengan istilah mauludan.
Baca Juga: Maulid Nabi Perspektif KH Hasyim Asy’ari
Meski demikian, banyak kecaman bid’ah bahkan sampai pada level syirik dari kelompok tertentu. Ini adalah perdebatan klasik yang hingga saat ini belum menemukan kata mufakat.
Ada juga dalil paksaan dari golongan ‘kanan’ bahwa sayidah Fatimah dan para sahabat adalah orang yang paling cinta kepada Nabi. Namun tak satupun dari mereka yang merayakan kelahiran Nabi. Lantas mereka menunjuk hidung, “mengapa kalian berani-beraninya merayakan maulid?”
Tentu hal yang demikian adalah debat yang sangat tidak ilmiyah. Sehingga akan sulit menemukan titik temu. Dan kalau kita kaji lagi, pernyataan itu justru menunjukkan akan kedangkalan dalam ilmu agama. Karena dalam memahami suatu, para ulama telah membekali kita ilmu fikih, usul fikih, kaidah fikih dan ilmu yang lain untuk dapat memahami suatu perkara. Tidak lantas semua hal yang belum pada zaman Nabi langsung kita melarangnya.
Maka untuk mendapatkan sedikit pencerahan, coba perhatikan dua ulama yang kapasitas kelilmuannya kita akui hingga saat ini oleh masing-masing dua pihak yang berseteru; Imam as-Suyuthi dan Syekh Ibnu Taimiyah.
Pandangan Imam As-suyuhi
Imam as-Suyuthi saat muridnya bertanya terkait maulid Nabi, beliau membahas dengan detail:
فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ المَوْلِدِ النَبَوِي فِي شَهْرِ رَبِيْعِ الأَوَّلِ، مَا حَكَمَهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْع؟ وَهَلْ هُوَ مَحْمُوْدٌ أَوْ مَذْمُوْمٌ؟ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا؟ اَلْجَوَابُ عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ المَوْلَدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةِ الأَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِي مَبْدَءِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لَمَّا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الفَرْحِ وَالاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ فِعْلَ ذَلِك صَاحِبُ اِرْبِلِ المَلِكِ المُظَفَّر أَبُوْ سَعِيْد كُوْكُبْرِىْ بِنْ زَيْن الدِّيْن عَلِي بِنْ بُكْتِكِيْن أَحَدُ المُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالكِبْرَاءِ الأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ، وَهُوَ الَّذِي عَمَّرَ الجَامِعَ المُظَفَّرِي بِسَفْحِ قَاسِيُوْن
“Sungguh telah ada pertanyaaan tentang peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, tentang bagaimana hukumnya menurut syara’ dan apakah termasuk kebaikan atau keburukan serta apakah orang yang memperingatinya mendapatkan pahala?”
Baca Juga: Memahami Hukum dan Sejarah Maulid Nabi
Imam Suyuthi menjawab: “Menurutku pada dasarnya amal Maulid itu adalah berkumpulnya manusia, membaca apa yang dirasa mudah dari Al-Qur’an, riwayat hadis-hadis tentang permualaan perintah Nabi serta tanda-tanda yang datang mengiringi kelahiran Nabi kemudian disajikan beberapa hidangan bagi mereka, selanjutnya mereka bubar setelah itu tanpa ada tambahan-tambahan lain, itu termasuk kedalam bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diberi pahala bagi orang yang merayakannya. Karena perkara di dalamnya adalah bagian dari pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan merupakan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran yang mulia Nabi Muhammad. Dan yang pertama mengadakan hal semacam itu (perayaan besar) adalah penguasa Irbil, Raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi bin Zainuddin Ali Ibnu Buktikin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan yang baik dan beliau lah yang membangun al-Jami’ al-Mudhaffariy lembah Qasiyun”.
Pandangan Ibnu Taimiyah
Sedangkan Ibnu taimiyah, yang merupakan tokoh panutan kelompok ‘kanan’, justru setuju dan mengapresiasi adanya maulid Nabi. Sebagaimana yang beliau tulis dalam salah satu karyanya, Iqtidhash-Shiratal-Mustaqim:
فَتَعْظِيْمُ المَوْلِدِ وَاتِّخَاذِهِ مُوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَ يَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَ تَعْظُيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ
“Mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya tradisi, terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Hal itu mengandung pahala yang besar karena tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah.”
Maka, dari kedua tokoh ini dapat diambil kesimpulan bahwa acara mauludan bisa tergolong sunnah, atau seandainya dimasukkan katagori bid’ah, maka termasuk bid’ah yang hasanah.
Fuad Abdul Wafi|Peneliti Annajah Center Sidogiri