Sebelumnya kami telah menjelaskan dua poin alasan pata tokoh liberal menganggap Islam telah mendiskreditasi perempuan. Berikutnya, kami tampilkan beberapa ayat yang ternyata menunjukkan bahwa Islam telah memuliakan kaum Hawa:
1. An-Nisa ayat 4
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
“Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An-Nisa[4]:4)
Keistimewaan perempuan terpancar dari ayat ini. Bagaimana orang laki-laki yang hendak menikahinya wajib memberikan mahar. Menurut Imam Baidlowi hal ini adalah sebagai bentuk kemuliaan yang Allah berikan kepada kaum hawa atas lelaki.
2. An-Nisa ayat 7
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa[4]:7)
Ternyata al-Qur`an juga memberikan hak mendapatkan warisan bagi perempuan yang dulu, pada masa Jahiliyah perempuan tak mendapatkannya.
3. An-Nisa ayat 19
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa[4]:19)
Ketiga, dalam merombak penafsiran ulama klasik, ia mempergunakan tiga tahapan pokok, yaitu konteks ayat tersebut diwahyukan, komposisi tata Bahasa ayat, pandangan hidup seluruh teks ayat dan menafsirkannya secara kontekstual. Maka dari itu, produk tafsir yang diplroklamirkannya adalah konteks tafsîr bir-ra`yi
Dalam kajian ‘Ulumul-Qur`an, syarat seseorang bisa menggunakan tafsir bir ra`yi adalah dengan memerhatikan pemahaman yang diambil dari makna Al-Qur`an harus sesuai dengan makan ayat, hadis atau qaul shahabi. Namun sampai saat ini tak ada hadis yang melegitimasi kepemimpinan perempuan, yang kami temukan hanyalah hadis yang menerangkan bahwa negara akan hancur jika dipimpin wanita.
Kemudian kesalahan besar Amina Wadud dalam menafsiri Al-Qur`an, bukan bermula dari kajian mendalam mengenai ilmu yang dibutuhkan untuk menafsiri al-Qur`an, namun berasal dari perasaan bahwa seorang wanita kini telah dipandang sebelah mata.
Dalam Islam telah diatur segala yang berkaitan dengan interaksi sosial, jangankan antar masyarakat luas, cakupan masyarakat paling kecilpun (keluarga) telah diatur dalam surat ini. Bagaimana kita merespon perintah Allah kepada seorang suami untuk berinteraksi dengan baik kepada sang istri selain mencernanya sebagai bentuk legitimasi kemuliaan yang Allah anugerahkan kepada wanita.
Dari beberapa uraian, penulis menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang dianggap adil bukan hanya terletak pada obyek yang dijadikan pertimbangan dari dua arah. Segala sesuatu memiliki padanan yang bisa disetarakan tetapi juga memiliki hal yang khusus dan tertentu pada masing-masing kubu. Jika yang kita jadikan acuan untuk menyamaratakan adalan hal yang khusus, maka akan kita temukan klaim ketidakadilan yang keliru. Bagaimana bisa orang tua dikatakan tidak adil kala membelikan dua orang anaknya yang berbeda kelamin dengan baju yang tidak sama. Seperti itupun Islam. Bagaimana bisa dikatakan adil, jika yang menjadi obyek pertimbangan adalah hal yang khusus bagi salah satu pihak, namun diukur kepada hal yang bersifat umum?
Ridwan Syauqi | Annajahsidogiri.id