Ternyata saat ini masih ada yang masih gagal memahami tentang arti kesetaraan dan keadilan. Masih banyak yang menyamakan antara keduanya. Sehingga mengeluarkan kesimpulan, kalau tidak rata berarti tidak adil, padahal sudah menjadi sebuah keniscayaan, Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan format dan kodrat yang berbeda-beda. Sudah tentu dengan fungsi dan aturan yang berbeda pula.
Ibarat sebuah produk, tentu aturan antara satu produk dengan produk yang lain tidak akan sama. Hal yang paling berhak untuk mengatur, dan mengerti akan aturan-aturan yang diperlukan adalah produsen produk itu sendiri. Kalau kita sebagai konsumen tidak mengikuti aturan itu, atau malah membuat aturan sendiri, bisa dipastikan produk itu tidak akan bertahan lama.
Begitu juga manusia, ia tercipta dalam dua jenis berbeda. Ada laki-laki, ada perempuan. Keduanya memiliki perbedaan psikis dan fisik, yang nantinya akan menetaskan aturan yang berebeda juga. Misalnya dalam talak. Hanya laki-laki yang memegang hak penuh atas talak. Wanita bisa memberikan pengajuan saja, atau yang dikenal sebagai khulu’. Pun, dalam pembagian warisan, laki-laki mendapat dua kali lipat bagian wanita.
Hanya saja mereka rentan gagal memahami, perbedaan aturan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan terhadap wanita. Jika kita menelaah ulang, yang menetapkan semua aturan itu adalah Allah; Sang Pencipta manusia. Zat yang paling berhak mengatur dan mengetahui akan ciptaannya. Tentu lucu jika kita sebagai hamba yang sama sekali tidah tahu apa-apa, malah menuduh aturan Allah yang memilki sifat Al-‘Adlu itu tidak adil. Dalam al-Qur’an telah disebutkan;
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِه وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”(QS. Al-an’am: 115).
Imam Abdurahman bin Jalaludin as-Suyuthi dalam kitabnya; ad-Durrul–Mantsur (3/344), menampilkan penjelasan Imam Qotadah pada lafaz صِدْقًا وَّعَدْلًا dalam ayat tersebut. Beliau menjelaskan;
صِدْقًا فِيْمَا وُعِدَ وَعَدْلًا فِيْمَا حُكْمَ
“Benar dalam berjanji dan adil dalam menghukumi.”
Melihat penjelasan di atas setidaknya sudah memberikan pencerahan pada kita, bahwa semua aturan yang Allah berikan melalui al-Qur’an, pasti adil dan benar. Hanya saja, kita yang belum mengerti terkait hal itu.
Jadi seperti itulah faktanya, bahwa tafdhil (mengutamakan antara satu ciptaan dengan ciptaan yang lain) adalah suatu yang niscaya dalam kehidupan ini. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan hal itu. Seperti mengutamakan antara satu utusan dengan utusan yang lain (QS-Al-Baqarah.ayat 253) atau mengutamakan antara bani adam dengan ciptaan yang lain (QS-Al-Isra’ ayat 70).
Jadi kata kuncinya adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tidak ada syarat bahwa arti keadilan itu harus sama. Karena pada dasarnya adil itu tidak harus sama, dan sama belum tentu adil. Justru yang tidak adil adalah ketika kita berusaha menyamakan sesuatu yang jelas berbeda. Sebagaimana keterangan syekh Hasan Habannakah dalam kitab Kawasyifuz-Zuyuf (hal. 235);
التَسْوِيَةُ بَيْنَ الْمُتَفَاضِلَاتِ ظُلْمٌ لِلْحَقِّ
“Menyamaratakan sesuatu yang jelas berbeda, adalah bentuk menzalimi kebenaran”.
Ilwa Nafis Sadad | Annajahsidogiri.id