يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’ [3]: 11)
Ayat di atas adalah penggalan ayat ke sebelas dari surah An-Nisa’. Secara tersurat, ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam pembagian harta waris, laki-laki mendapatkan dua bagian wanita. Namun secara tersirat, ayat tersebut juga menjadi salah satu bukti nyata kalau Agama Islam sangat menjunjung tinggi kedilan -dengan juga memberikan wanita hak waris meski dengan kadar yang berbeda-. Karena pada zaman jahiliah yang mendapatkan warisan hanya laki-laki. Sedangkan wanita hanya mendapatkan ampas dan baunya saja. Lantas apa sebenarnya hikmah di balik perbedaan kadar pembagian warisan tersebut? Berikut penjelasannya:
Ada beberapa hikmah yang dijelaskan ulama mengenai perbedaan bagian warisan tersebut. Salah satunya dijelaskan oleh Syekh Khatib asy-Syarbini dalam kitabnya, Sirâjul-Munîr:
وَاِنَّمَا فَضَّلَ الذِكْرَ عَلَى الْاُنْثَى لِاخْتِصَاصِهِ بِلُزُوْمِ مَا لَا يَلْزَمُ الاُنْثَى مِنْ الجِهَادِ وَتَحَمُّلِ الدِيَةِ وَغَيْرِهِمَا وَلَهُ حَاجَتَانِ حَاجَةٌ لِنَفْسِهِ وَحَاجَةٌ لِزَوْجَتِهِ وَالْاُنْثَى حَاجَةٌ وَاحِدَةٌ لِنَفْسِهَا بَلْ هِيَ مُسْتَغْنِيَةٌ بِالتَزْوِيْجِ عَنْ الاِنْفَاقِ مِنْ مَالِهَا
“Allah mengutamakan laki-laki atas perempuan, karena laki-laki memiliki kewajiban khusus yang kewajiban itu tidak dibebankan pada wanita. Seperti jihad, membayar diat, dan lain sebagainya. Selain itu, laki-laki juga memiliki dua kebutuhan (yang harus ia penuhi). Yaitu untuk dirinya pribadi dan sang istri. Sedangkan keperluan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Bahkan ia tidak usah mengeluarkan biaya apapun ketika ia sudah berkeluarga.”
Selain syekh khatib asy-Syarbini, sebenarnya masih banyak yang menjelaskan tentang hikmah dalam perbedaan kadar pembagian warisan. Seperti Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/362), atau Syekh Muhammad Ali al-Jarjawi dalam kitab Hikmatut-tasyrî’ wa falsafatuhu (2/264), atau kitab-kitab yang lain.
Baca Juga: Kesetaraan Antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Prespektif Islam
Jika kita bisa merenungi penjelasan Syekh Khatib asy-Syarbini di atas, bisa dikatakan bahwa bagian wanita itu setara dengan laki-laki. Karena meskipun wanita hanya mendapatkan separuh, dia bisa menikmati bagian itu sendirian. Berbeda dengan laki-laki, ia masih memilik seabrek kewajiban yang harus ia tunaikan. Seperti membayar mahar, membiyayai anak-istri, dan menafkahi orang tua yang tidak mempunyai apa-apa.
Jadi bisa disimpulkan bahwa sebenarnya aturan pembagian warisan yang telah ditetapkan oleh syariat, bukan sebuah bentuk ketidakadilan terhadap wanita, justru aturan itu merupakan anugerah yang luar biasa bagi mereka. Sebagaimana yang dituturkan oleh Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam kitabnya; tafsir Al-Khawâthir (2/43).
Namun perlu digaris bawahi bahwa apa yang telah dijelaskan di atas, hanya sekadar penjelasan hikmah mengenai hukum warisan. Bukan alasan atau ‘illat dari diberlakukannya hukum tersebut. Sehingga apabila di kemudian hari didapati laki-laki tidak bertanggung jawab yang enggan untuk menafkahi istrinya, atau nantinya, ada wanita yang sudah tidak butuh pada nafkah suaminya, maka kasus ini sama sekali tidak bisa mencerabut akar aturan syariat yang sudah ditetapkan.
Bahkan Syekh muhammad bin Ahmad dalam kitbanya; Al-mar’ah baina Takrimil-Tslam wa Ihanatil-Jahiliah, memvonis kafir -berdasarkan ijmak ulama- orang yang memperbolehkan menyamaratakan bagian warisan yang telah dibedakan dalam Al-Qur.’an. Karena orang tersebut dianggap telah mengingkari Al-Qur.’an dan hadis. Wallahu a’lam.
Ilwa Nafis Sadad | Annajahsidogiri.id