Kata Bada adalah kata dasar (masdar) dari bada–yabdu–badaan, artinya azh-Zhuhur ba’da al-Khafa’ (jelas setelah tidak tahu) atau juga bisa diartikan Nasyaa fihi rayun (timbulnya pemikiran baru). Misalnya, kita telah mengambil keputusan dengan pertimbangan yang mapan, buah prtimbangan ini selanjutnya dipublikasikan agar menghasilkan karya yang nyata, namun tidak selang beberapa lama, terlintas di benak kita bahwa keputusan yang diambil ternyata kurang tepat, sehingga mengharuskan untuk menghapus keputusan tadi dan menggantinya dengan yang baru”. Hal semacam ini lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sebab salah dalam menggambil keputusan merupakan sesuatu yang manusiawi.
Kata bada dapat dijumpai dalam sebagian ayat al-Qur’an sebagaimana firman Allah:
ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا رَأَوُ الآيَاتِ لَيَسْجُنَنَّهُ حَتَّى حِيْنٍ
“Kemudian timbul pemikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf),bahwa mereka harus memenjarakan-Nya sampai suatu waktu”. (Qs. Yusuf [12]: 35)
Kata bada yang terdapat dalam ayat di atas menggunakan arti “timbulnya pemikiran baru” sebagaimana telah dijelaskan di depan. Namun yang perlu menjadi catatan di sini bahwa kata bada pada ayat tersebut dinisbatkan pada manusia, bukan pada Allah. Maka benar apa yang telah diyakini oleh ulama Ahlusunah bahwa Allah tidak memiliki sifat bada. Adapun menurut keyakinan Syiah, bada merupakan suatu kewajiban bagi Allah. Kata mereka, Allah mengubah kehendak-Nya, karena ada perubahan pada ilmu-Nya, dan Allah memerintahkan sesuatu, kemudian ia memerintahkan perlawanannya[1]. Dengan kata lain -menurut Syiah- Allah bisa jadi salah dalam mengambil suatu keputusan, kemudian ia merubahnya dengan yang baru.
Bada merupakan salah satu akidah yang memilki urgensitas di kalangan pengikut Syiah, mereka berkeyakinan bahwa mengakui adanya bada pada Allah merupakan suatu keutamaan dan kesempurnaan agama[2], maka tidak mengherankan jika al-Kulaini -imam Bukhari-nya Syiah- dalam kitab Ushulul-Kafi-nya mencatat riwayat sebagaimana berikut:
مَا عُبِدَ اللهُ بِشَيْئٍ مِثْلَ الْبَدَاءِ
“Tidak ada penyembahan kepada Allah yang lebih baik dari pada bada.”[3]
Dalam riwayat Ibnu Abi Umair di sebutkan dengan redaksi sebagai berikut :
مَا عَظَّمَ اللهُ مِثْلَ البَدَاءِ
“Tiada pengagungan terhadap Allah yang sepadan dengan bada.”
Kalau ditelusuri lebih lanjut, kenapa bada memiliki posisi yang begitu tinggi dalam keberagamaan Syiah sebagai mana telah dipaparkan di depan? Sebab kedok dan doktrin mereka tentang imamah. Syiah meyakini bahwa para imam mereka maksum serta mengetahui tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang. Ketika mereka menisbatkan suatu peristiwa yang akan dialami oleh para imam mereka, namun ternyata berbeda dengan apa yang sudah mereka katakan, maka untuk menutupi kebohongan tersebut, mereka mengatakan bada pada Allah.[4] Sebagaimana yang dialami kelompok Syiah Kaisaniyah atau juga dikenal dengan syiah Mukhtariyah (pengikut Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi).
Disebutkan bahwa penyebab mereka menjadikan bada sebagai akidah adalah kesalahan ramalan Mukhtar as-Tsaqafi ketika mengabarkan pada pasukannya bahwa Allah berjanji akan memberikan kemenangan pada mereka dalam perang menghadapi pasukan Mus’ab bin Zubair. Teryata pasukan mereka kalah dalam peperangan tersebut. Mereka mendatangi Mukhtar dan menagih janji tuhan itu: “Mana kemenangan yang dijanjikan Tuhan”, untuk menutupi kebohongannya al-Mukhtar pun menjawab: “Demikianlah janji Allah, namun dia mempunyai pemikiran lain (bada)”. Agar kepercayaan pengikutnya tidak pudar, al-Mukhtar berdalih dengan ayat :
يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya lah terdapat Ummul kitab.” (Ar-Ra’du [13]: 39)
Hal yang sama juga terjadi pada golongan Syiah Itsna Asyariyah. Mereka percaya bahwa posisi Imamah akan selalu diwasiatkan pada putra tertua dari imam sebelumnya. Komitmen ini terus berlanjut sampai masa Imam Jakfar Shadiq; imam Syiah ke enam. Beliau, menurut kepercayaan Syiah, mewasiatkan bahwa imam selanjutnya kelak adalah putra sulungnya; Ismail bin Jakfar. Namun ternyata Ismail meninggal saat ayahnya masih hidup. Akhirnya Imamah diwaistakan kepada adiknya; Musa bin Jakfar.
Dalam menghadapi masalah yang mereka alami ini, mereka mencari solusi agar keyakinan mereka tentang kemaksumam imam tidak pudar dari para pengikutnya, akhirnya mereka membuat hadis bada yang dinisbatkan kepada Imam Jakfar Shadiq sebagaimana berikut:
“Tidak ada pengubahan rencana Allah (bada) yang lebih besar daripada pengubahan rencananya dari Ismail anakku … Sebab Dia telah mengambilnya lebih dahulu sebelum aku, itu semua agar dia memberi tahu bahwa Ismail tidak akan menjadi imam sepeninggalku”.[5]
Mereka terlanjur menyatakan bahwa para imam mereka maksum serta mengetahui hal-hal gaib . Ternyata Imam Jakfar yang maksum masih bisa salah, maka di sini bada menjadi satu-satunya solusi untuk mengamankan doktrin abal-abalan mereka.
Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa fungsi dari sifat bada dalam keberagamaan Syiah tidak lain sebagai benteng untuk menutupi celah yang terdapat di balik dokrin-doktrin mereka, seperti Imamah, ‘Ismatul-aimmah, dll. Dan anehnya, para pengikut Syiah mau saja mengamini doktrin irasional ini.
Sholahuddin Al-Ayyubi | Annajahsidogiri.id
[1] Tarikhul madzahib al-islamiyah
[2] As-Syiah Minhum ‘alaihim, hlm. 201
[3] Ushulul-Kafi, juz1, hlm. 146
[4] As-Syiah Minhum ‘alihim.hlm 203
[5] Ibnu babawaih, al-Tauhid, hlm. 336