Syekh Nawawi al-Jawi dalam kitab Nȗrudz-Dhalām ‘Ala ‘Aqīdatil-‘Awām (hal. 94-95) meriwayatkan sebuah kisah yang mencerminkan tentang pertanyaan dua malaikat (Munkar dan Nakir) dalam kuburan. Kisah ini terkait keberanian Sayidina Umar—yang terkenal keras—saat menjawab pertanyaan dua malaikat tersebut.
Ketika Sayidina Umar bin Khaththab wafat dan sudah disemayamkan, hanya tersisa satu orang yang masih berada di pinggir makamnya, yakni Sayidina Ali. Kemudian, Sayidina Ali pun meminta kasyaf (dibukakan tabir) kepada Allah agar bisa mendengar dialog antara Sayidina Umar dan dua malaikat yang bertugas menanyakan perihal keimanan ahli kubur, Malaikat Munkar dan Nakir. Lalu, Sayidina Ali mendengar Sayidina Umar sedang berkata, “Hai dua malaikat! Aku membuat perjanjian dengan kalian dan berwasiat kepada kalian. Jangan sampai kalian mendatangi orang mukmin dengan bentuk kalian seperti ini, tetapi kurangilah bentuk kalian supaya tidak terlalu seram, karena aku saja tatkala melihat kalian merasa ketakutan dan sangat kaget, padahal aku adalah shahabat Rasulullah ﷺ. Lantas, bagaimana dengan selainku (yang bukan shahabat Rasul) ketika melihat kalian dengan bentuk seperti ini?”
Dua malaikat tersebut berkata kepada Sayidina Umar, “Siap, Kami patuh dan kami takkan melanggar perintahmu, wahai shahabat Rasulullah ﷺ”. Dengan penuh takjub, Sayidina Ali pun bergumam, “Demi Allah, Sayidina Umar selalu memberikan manfaat pada orang-orang mukmin, meski telah wafat.” Sejak kejadian ini, kedua malaikat itu pun tidak terlalu seram lagi ketika bertanya kepada umat mukmin yang wafat.
Dari kisah tadi, kita dapat mengetahui bahwa pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir akan terjadi pada mayat saat berada di liang lahad. Terlepas dari itu, pertanyaan dua malaikat merupakan salah satu dari sekian banyak macam ghaibiyat. Sehingga, tidak ada jalan lain untuk mengimani perkara ghaibiyat tersebut kecuali dari al-Khabar al-Yaqīnī (al-Qur’an dan hadis). Hal ini seperti yang Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi tegaskan dalam kitab Kubra Yaqiniyat al-Kauniyah (hal. 278).
Baca Pula Tulisan Rubrik Konsultasi
Senada dengan hal ini, dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tertera hadis berbunyi demikian,
“Rasulullah ﷺ pernah melaksanakan shalat gerhana matahari bersama orang-orang. Kemudian, Nabi berkhotbah seraya bersabda, ‘Sungguh tidak ada sesuatu apapun yang tidak pernah aku lihat, walaupun surga dan neraka. Sungguh, aku diberi wahyu bahwa kalian akan diajukan pertanyaan dalam kuburan. Satu per satu dari kalian akan didatangi oleh malaikat. Ia bertanya padamu, ‘apa yang kamu ketahui tentang lelaki ini?’ Jika yang ditanya ialah orang mukmin, maka akan menjawab, ‘Lelaki itu adalah Muhammad, utusan Allah, beliau datang pada kami membawa beberapa penjelasan dan hidayah. Lalu, kami pun mendukungnya, mengimaninya dan mengikuti titahnya.’
Malaikat itu pun menimpali, ‘Tidurlah dengan nyenyak, sungguh kami telah mengetahui bahwa kamu seorang mukmin.’ Sedangkan jika yang ditanya ternyata orang munafik atau kafir, mereka akan menjawab, ‘Kami tidak tahu, kami hanya mendengar orang-orang berkata tentang lelaki tersebut’.”
Mengenai orang kafir dan munafik dalam hadis Imam Muslim disebutkan bahwa kedua malaikat akan memukulinya dengan palu dari besi. Mereka akan menjerit kesakitan. Semua makhluk hidup mendengar jeritan tersebut kecuali manusia dan jin (ats-Tsaqalaini).
Hadis tadi tentu merupakan salah satu jalan untuk mengimani ghaibiyat, yang dalam hal ini tentang eksistensi pertanyaan dua malaikat kepada ahli kubur. Bahkan, tak pelak kemudian jika Sayid Muhammad Alawi al-Maliki menegaskan bahwa pertanyaan dua malikat merupakan kekhususan bagi umat dakwah, yakni: semua orang mukmin, munafik dan yang kafir. Oleh karenanya, wajib kita imani. Apabila di bumi ini banyak orang yang mati dari berbagai daerah yang berbeda-beda, maka kedua malaikat tersebut akan menanyakan semua orang yang mati itu dalam satu waktu (Kitabus-Shawi ‘Ala Jauharatit-Tauhid hal. 369-370).
Hikmah Pertanyaan Dua Malaikat
Mengenai hikmah pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, kitab Minhatul-Hamid Syarhu Jauharatit-tauhid hal.328 menjelaskan sebagai berikut:
1) Sebagai pembeda antara orang yang mengikuti kebenaran dan orang yang sesat. Sebab, pada akhirnya akan ketemu hamba yang ikut pada kebenaran, dan yang berada di jalur sesat.
2) Untuk menampakkan sesuatu yang tersembunyi dari diri seorang hamba, berupa keimanan, kekufuran, ketaatan ataupun kemaksiatan. Wallahu a’lam.
Roviul Bada | Annajahsidogiri.id