Berbicara tentang hari nahas di zaman ini, tak ubahnya membahas pembahasan di zaman-zaman sebelumnya. Sebab, walaupun zaman ini penuh perkembangan, ternyata masih banyak masyarakat yang mengaitkan hari nahas dengan banyak hal. Seperti ketika hendak melakukan suatu pekerjaan, membangun rumah, menikahkan anak, membeli sesuatu dan lain sebagainya. Sehingga, tak jarang dari mereka mendatangi orang-orang ahli dan bertanya tentang hari tersebut, apakah hari untung atau malah buntung. Lantas bagaimana sebenarnya akidah Islam menanggapi hal ini?
Dalam kitab Talkhȋsul-Murȃd (hlm 206) terdapat penjelasan bahwa jika ada yang bertanya seperti di atas; apakah hari itu adalah hari beruntung atau hari nahas, maka pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab. Sebab syariat telah melarang hal tersebut dengan larangan yang cukup tegas. Dan kita tidak usah menghiraukan jika ada orang yang bertanya perihal tadi.
Ibnul Farkah mengutip komentar Imam asy-Syafi’i, bahwasanna jika ada seorang ahli nujum atau seorang peramal mengatakan bahwa hari ini adalah hari nahas atau hari beruntung, misalnya, lalu perkataan ahli nujum atau peramal tersebut diyakini kebenarannya, dengan tetap meyakini bahwa tidak ada yang memberi atsar (bekas) atau pengaruh sama sekali selain Allah ﷻ. Hanya saja Allah ﷻ memberlakukan adat kepada sesuatu yang Allah ﷻ kehendaki, dalam hal ini adalah hari tertentu. Maka kepercayaan semacam ini tidak bermasalah alias tidak haram. (Tuhfatul-Murȋd hlm 58)
Beda halnya apabila memercayai bahwa memang hari tersebut yang memberi pengaruh sendiri dengan menafikan kodrat Ilahi, maka hal ini bisa menjurus kepada kekafiran. Syekh Ibrahim al-Baijuri menegaskan dalam kitab Tuhfatul-Murȋd (hlm 58):
فَمَنْ اعْتَقَدَ أَنَّ الأسْبَابَ العَادِيَة كَالنَّارِ وَالسِّكِيْنِ وَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ تُؤَثِّرُ فِى مُسَبِّبَاتِهَا الحَرْقَ وَالْقَطْعَ وَالشَّبْعَ وَالرَّيَّ بِطَبْعِهَا وَذَاتِهَا فَهُوَ كَافِرٌ بِاْلإِجْمَاعِ
“Barangsiapa berkeyakinan segala sesuatu terkait dan tergantung pada sebab dan akibat, seperti api menyebabkan membakar, pisau menyebabkan terpotong, makanan menyebabkan kenyang, minuman menyebabkan segar dan lain sebagainya dengan sendirinya (tanpa ikut campur tangan Allah) hukumnya kafir dengan kesepakatan para ulama.”
Walhasil, larangan syarak untuk memercayai hari-hari nahas seperti di atas adalah jika orang tersebut berkeyakinan semua kejadian yang terjadi adalah akibat hari nahas itu, bukan berasal dari Allah ﷻ. Sementara kalau mengembalikan semua kejadian dari Allah ﷻ dan tidak ada kejadian yang muncul dari mahkluk atau hari nahas, maka tidak ada larangan dari Agama. Karena sesuai dengan sunnatullah, bahwa Allah ﷻ memberlakukan adat-Nya pada setiap hal yang Ia kehendaki.
Shafwan Halim | Annajahsidogiri.id