Di negara Indonesia ini sudah tidak terhitung betapa banyak orang-orang yang mengucapkan kalimat pada tempat yang salah. Sehingga, kesalahan itu sampai mempengaruhi terhadap ranah akidah. Hal ini biasa dilakukan oleh orang yang awam akan pendidikan agama. Imbasnya, mereka pun tidak sadar bahwa perkataan yang diucapkannya dapat membawanya terjerambab dalam kesesatan.
Ketika menafsiri surah at-Taubah ayat 23, al-Imam Fakruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya mengutip perkataan shahabat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa keridaan seseorang terhadap kekefuran, dapat menyebabkan dirinya terikut pada kekufuran tersebut. Pun demikian, bila ia meridai terhadap kemaksiatan yang terjadi, maka akan membawa dirinya pada jurang kemaksiatan itu.
Dari sini, al-Imam Fakhruddin ar-Razi lalu memberikan contoh sebuah perkataan yang tidak seharusnya diucapkan oleh seorang mukmin, supaya tidak menimbulkan kekufuran pada dirinya. Perkataan tersebut sebagai berikut,
“Saya percaya Islam adalah agama yang terbaik, namun saya percaya bahwa seseorang murtad atau keluar dari agama Islam tidak boleh dicegah. Karena, Islam membenarkan kebebasan beragama dan berfikir”.
Ucapan di atas dianggap salah oleh ar-Razi, sebab hal itu menyatakan dukungan terhadap kekufuran, yang dalam hal ini adalah membenarkan kebebasan beragama. Oleh karena itu, perkataan yang seharusnya dikatakan adalah demikian,
“Saya percaya Islam adalah agama yang terbaik, malah hanya Islam satu-satunya agama yang benar. Murtad atau keluar dari Islam adalah suatu perbuatan yang dilarang dan dikecam dalam Islam. Bila seseorang murtad, maka mereka akan diazab dengan azab yang pedih di dalam neraka. Oleh karena itu, menjadi kewajiban umat Islam untuk menyelamatkan saudara seagamanya agar tidak menjadi murtad” (Tafsîr Mafâtîhul-Ghaīb juz. 16 hlm. 16-17).
Senada dengan hal ini, seorang hakim juga tidak diperkenankan menghukumi kufur terhadap seseorang yang diadili. Sebab, menyatakan seseorang telah kufur karena berbuat suatu hal, termasuk membela kekufuran tersebut (Mughnîl-Muhtâj juz. 2 hlm. 422). Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa rida terhadap kekufuran akan menyebabkan pelakunya ikut kufur.
Ada beberapa cara agar seseorang tidak ‘terseret’ dengan rida terhadap kekufuran yang terjadi. Salah satunya sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran yang artimya,
“Dan sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu di dalam kitab (al-Quran) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena (kalau tetap duduk dengan mereka), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sungguh, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di neraka Jahanam,” (QS. An-Nisa’ [4]: 140).
Atas dasar ayat di atas, al-Imam Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya yang berjudul ‘Mirqâtus-Shu’udit-Tashdîq Syarah Sullamut-Taufîq Ilā Mahabbatillâhi ‘alat-Tahqîq’ (hlm. 11), memberikan penjelasan bahwa menjauhi para pelaku maksiat merupakan sebuah kewajiban, jika benar-benar akan terjadi kemungkaran. Apabila mereka tidak dijauhi, menunjukkan akan kerelaan kita terhadap apa yang mereka lakukan. Sebagaimana sudah maklum, bahwa ar-Ridha bil-Kufri Kufrun (Rida terhadap kekufuran berarti kufur).
M. Roviul Bada | Annajahsidogiri.id