Pendorong Mereka Memperjuangkan Pluralisme Agama
Jangan terkejut. Jika kita lihat bagaimana tujuan orang-orang yang memperjuangkan paham pluralisme agama, nampak sangat baik. Dari alasan-alasan mendasar mereka, sarat dengan nuansa humanis da agamis.
Tentu hal ini hanya berdasarkan pada lahiriah ungkapan mereka. Karena kita tidak tahu apa tujuan sebenarnya yang hanya diketahui oleh mereka.
Dalam penjelasan di bawah ini, kami mengutip banyak pandangan Nurcholish Madjid. Sebab, beliau adalah salah satu orang yang cukup masif menyebarkan paham ini lewat tulisan-tulisannya, dianggap sebagai pemikir berpengaruh, dan generasi setelahnya banyak yang mengutip beliau.
Setelah melihat fakta yang ada, setidaknya ada tiga hal yang mendorong mereka memerjuangkan pluralisme agama. Berikut kami jelaskan tiga hal itu:
Mengembalikan Marwah Agama
Nurchalis Majid, salah satu pejuang Islam Liberal di Indonesia, menguraikan penjelasan tentang adanya penurunan tingkat kepercayaan pada agama. Orang-orang mulai bertanya-tanya, apa sebenarnya kontribusi agama dalam kehidupan sosial.
Dengan mengecap buku A.N. Wilson berjudul Against Religion: Why We Should Try to Live Without It sebagai buku yang sangat sinis terhadap agama, dia menjelaskan sedikit bagaimana kebencian penulis buku itu yang terhadap agama.
Baca Juga: Akar Pluralisme Agama: Justifikasi Spekulatif Demi Tujuan Utopis (#1)
“Dalam bukunya yang sangat sinis terhadap agama, Against Religion: Why Wc Should Try to Live Without It (Melawan Agama: Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia), A.N. Wilson, seorang jurnalis, mendramatisir, bahwa dikatakan (oleh agama) cinta uang adalah akar segala kejahatan, ia mengatakan mungkin lebih benar, “cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan.” Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran.”
Selain A,N. Wilson, dia juga me-mantion Karl Marx, seorang filsuf asal Jerman yang terkenal sebagai filsuf, ekonom, sejarawan, sosiolog, pembuat teori politik, dan sosialis.
“Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mcngklairn bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.”
Apa yang kemudian ditawarkan oleh Cak Nur, sapaan akrab Nurcholish Madjid, untuk menjawab dua orang tadi yang sama-sama memandang negatif agama? Berhenti bergama dengan cara yang eksklusif. Beralih pada cara beragama yang inklusif.
“Di tengah adanya keraguan pada kalangan kritisi atas peranan agama yang dapat menumbuhkan kehidupan sosial yang penuh dengan toleransi di Indonesia dewasa ini, yang penuh dengan kemungkinan konflik-konflik yang mengatasnamakan agama, menunjukkan suatu jenis penghayatan Islam yang terbuka, dan inklusif adalah suatu hal yang sangat mendesak.”
“Secara substansial, paham keberagamaan inklusif artinya, percaya bahwa seluruh kebenaran agama lain ada juga dalam agama kita. ‘All religions are the same-different paths leading to the same goal’.”
Sebenarnya pembagian cara beragama menjadi eksklusif dan inklusif bukan murni pemikiran Cak Nur. Ia hanya menjiplak John Hick. Hick membagi cara beragama menjadi tiga: (1) Ekskulifisme, (2) Inklusifisme, dan (3) Pluralisme.
Dengan singkat dan sederhana, menyimpulkan dari tulisan Dr. Syamsuddin Arif, eksklusifisme adalah cara beragama dengan memandang bahwa agama sendiri adalah benar, yang lain salah. Inklusfisme adalah cara beragama dengan memandang bahwa dalam agama lain juga terdapat kebenaran dan keselamatan. Pluralisme lebih ekstrim lagi. Paham ini bahkan menghilangkan sekat-sekat agama. Mungkin karena ini, Adian Husaini memahami pluralisme bukan sebagai cara beragama pada agama-agama yang sudah ada, melainkan agama baru.
Baca Juga: Efek Samping Relativisme Pada Agama
Namun, meski Hick memberi definisi berbeda antara inklusifisme dan pluralisme, dalam pengertian yang lebih luas, inklusifisme juga masih bisa disebut plurlisme. Dengan artian, pandangan umum bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam satu agama yang dianut, masih bisa disebut pluralisme agama.
Cara beragama yang ekslusif, tak lain adalah satu gerbong dengan satu alamat pasti bernama kehancuran. Klaim kebenaran adalah masalah yang harus dipisahkan dari cara beragma umat.
“Eksklusivisme dalam beragama, memang akan berakibat bentuk-bentuk kekerasan yang bakal menimbulkan konflik-konflik keagamaan yang laten, seperti digambarkan Wilson itu. Karena itu, memang benar jika dikatakan, sebenarnya tidak ada masa depan jika keberagamaan itu dikembangkan dalam bentuknya yang eksklusif. Eksklusivisme cepat atau lambat hanya akan membawa manusia kepada kehancuran.”
Badrut tamam | Annajahsidogiri.id