Biografi tokoh memiliki peranan yang sangat urgen dalam memahami perjalanan hidup, pencapaian, dan kontribusi individu terhadap masyarakat. Melalui biografi, kita tidak hanya diajak untuk mengenal sosok tersebut secara lebih mendalam, tetapi juga untuk menggali nilai-nilai, prinsip, dan perjuangan yang melatarbelakangi setiap langkah yang diambil. Tokoh-tokoh besar dalam sejarah sering kali menjadi sumber inspirasi, menunjukkan bagaimana tekad, pendidikan, dan pengalaman dapat membentuk kehidupan seseorang dan berdampak pada dunia di sekitarnya. Dengan mempelajari biografi mereka, kita dapat mengambil pelajaran berharga yang relevan dengan tantangan dan dinamika kehidupan masa kini. Oleh karena itu, biografi tidak hanya merupakan catatan fakta, tetapi juga jendela menuju pemahaman yang lebih dalam tentang konteks sosial, budaya, dan politik yang melahirkan tokoh-tokoh besar tersebut. Nah, tulisan ini merupakan upaya menuju kesana.
Nama, nasab dan kelahiran.
Beliau adalah al-Imâm al-‘Allâmah al-Mufassir Ahmad bin Muhammad bin Al-Mahdî bin Al-Husen bin Muhammad, dikenal sebagai Ibnu ‘Ajibah. Dan dijuluki Abu Abbâs al-Hasani berdasarkan garis keturunan, al-Tatwâni berdasarkan asal, al-Fassi dalam bidang pendidikan, al-Mâliki dalam bidang madzhab, as-Syâdzili dalam bidang thariqah. Tidak ada yang menandingi beliau di masanya dalam segi keilmuan dan intelektual, yang merupakan pengarang berbagai karya yang banyak dan ilmu-ilmu yang bermanfaat.[1]
Beliau dilahirkan di desa Ajabish, dari suku Anjara, yang mendiami pegunungan sekitar kota Tetouan, terletak di Maroko Bagian utara, pada jarak sepuluh kilometer dari pantai Laut Mediterania, pada tahun 1660 M atau 1661 H.
Beliau terlahir dari orang tua yang shaleh, keduanya dari keluarga Nabi. Garis keturunan mereka kembali ke al-Imam Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu dan Sayyidah Fâthimah radhiyallahu ‘anha.
Syekh Ibnu Ajibah mempunyai kakek seorang wali yang bernama Abdullah bin Ajiba, maqbarahnya berada di suku wilayah Anjara, dan juga mempunyai kakek yang bernama Al-Husein Al-Hajuji; dikenal sebagai orang yang mempunyai banyak karamah dan akhlak terpuji. Sedangkan yang kakek terakhir adalah al-Mahdi, yang merupakan seorang yang saleh, pendiam, dan berbudi luhur.
Perjalanan ilmiah
Syekh Ibnu Ajibah hidup dengan orang yang saleh dan bertakwa, beliau mulai menghafal Al-Qur’an sejak usia dini. Beliau pindah ke Qasr al-Kabir, dan tinggal di sana selama kurang lebih dua tahun, di sana beliau bekerja keras untuk memperoleh ilmu, sampai dia berkata tentang dirinya:
قَالَ عَنْ نَفْسِهِ: أَهْمَلْتُ نَفْسِى، وَنَسِيتُ أَمْرَهَا، وَكُنْتُ أَقْرَأُ سَبْعَةَ مَجَالِسَ، بَيْنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ.
“Dia berkata tentang dirinya sendiri: Saya mengabaikan diri saya sendiri, melupakan diri saya sendiri, dan saya biasa membaca tujuh sesi, siang dan malam .”[2]
Beliau merasa tidak puas dengan apa yang telah dilakukannya di kota Qasr al-Kabir. Justru menambah keinginannya untuk datang ke Tetouan; rumah ilmu dan hikmah, tempat singgahnya banyak ulama. Ketika datang ke sana beliau berusia dua puluh tahun. Lalu beliau mulai menimba ilmu di berbagai bidang keilmuan dengan penuh kesungguhan bersama para pakar fiqih, tafsir, hadis, bahasa, sastra, morfologi, dan logika.
Buah dari ketekunan beliau sangatlah terlihat sebelum berusia dua puluh sembilan tahun. Disamping kesibukan beliau mengajar di masjid dan sekolah di Tetouan, hal itu tidak menghalanginya untuk terus belajar. Karena rasa haus akan ilmu tidak dapat dipuaskan betapapun banyaknya.[3]
Karangan
Syekh Ibnu Ajiba telah menulis tafsir, hadis, fiqih, dan bahasa, namun yang mendominasi adalah karangan tentang ilmu tasawuf. Total yang ditulis berjumlah lebih dari empat puluh lima kitab, ada yang berjilid besar, ada yang berukuran sedang, dan ada pula yang berjilid kecil. Dan juga masih ada naskah-naskah yang belum sempat dicetak.[4] Diantaranya:
- Hâsyiyah Ala Mukhtashar Khalîl.
- Risâlah Fi al-Aqâid Wa al-Shalât.
- Tashîl al-Madkhal Li Tanmiyati al-Amal Bi an-Niyyati as-Shâlihati ‘Inda al-Iqbâl.
- Salku ad-Durûr Fi Dzikri al-Qadhâ’ Wa al-Qadar.
Setelah seumur hidup dihabiskan dalam ilmu, beliau meninggal pada tanggal 07 Syawal tahun 1224 H. Beliau meninggal di tengah-tengah suku Bani Salman di Ghamra, yang pada saat itu beliau mengunjungi gurunya Syekh Al-Buzidi. Beliau terkena penyakit Tho’un, dan meninggal di rumah gurunya sebab terkena wabah ini dan gurunya menguburkannya di Ghamara, kemudian beliau dipindahkan ke Tetouan.
Ubaidullah | Annajahsidogiri.id
[1] Muhammad ibnu Muhammad Umar Qasim Mahluf, Syajarah an-Nûr az-Zakiyah fi Tabaqât al-Mâlikiyah, hlm. 400, Dar al-Kutub al-lmiyyah, Beirut.
[2] Ibnu Ajibah: al-fihrisah, hlm. 16.
[3] Ibnu Ajibah: al-fihrisah, hlm. 76.
[4] Abdu al-Aziz bin Abdillah. Al-Mausu’ah al-Maghrabiyyah li al-A’lam al-Basyariyah Wa al-Hadhariyah, juz, II, hlm. 45.