“AL-Quran itu bukan firman Allah, tidak mungkin Allah salah dalam menyampaikan firmannya seperti al-Quran yang ada di tangan kita. Nabi Muhammad telah menipu kita. Buktinya dalam al-Quran ada ayat yang salah, seperti ayat perbudakan. Padahal perbudakan sekarang telah musnah, tidak ada lagi yang namanya budak, bahkan di arab sekalipun. Al-Quran itu tidak up to date (tidak ikut perkembangan zaman), katanya bisa dijadikan landasan hukum sampai Akhir zaman, tapi bagaimana kita mau menghukumi kalau yang dihukumi tidak ada”.
Sekilas, pernyataan tersebut masuk akal. Tapi sebagai Ahlussunnah apakah kita akan menerimanya begitu saja? Padahal sejatinya al-Quran adalah firman Allah yang di dalamnya tidak terdapat sedikitpun kekurangan. Bagaimana kita menjawab ideologi tersebut.
Kita harus tahu bahwa al-Quran diturunkan bukan untuk melanggengkan perbudakan, melainkan untuk menghapusnya dari permukaan bumi. Misi al-Quran sebenarnya adalah menyamakan kedudukan setiap orang dengan cara memerdekakannya.
Allah telah menjanjikan balasan yang amat besar bagi orang yang memerdekakan budak. Sebagaimana hadis Nabi:
اَيُّمَاامْرِءٍ مُسْلِمٍ اَعْتَقَ اِمْرَءًا مُسْلِمًا اِسْتَنْقَذَ اللهُ بِكُلِّ عَضْوٍ مِنْهُ عَضْوًا مِنْهُ مِنَ النَّارِ
“Orang muslim yang memerdekakan seorang budak muslim, maka Allah akan menjaga setiap anggota tubuhnya dengan anggota tubuh budak tersebut dari neraka.” (H.R Bukhari Muslim)
Dalam sebuah problem, ketika ada seseorang kawin dengan istri berstatus budak, kemudian sang suami hendak membeli istrinya tersebut, maka nikah mereka secara otomatis akan batal. Dan sang istri akan menjadi budak bagi sang suami (tidak lagi berstatus sebagai istri), hal ini dikarenakan ketika sang istri menjadi budak bagi sang suami, anak yang lahir pasti akan merdeka. Sedangkan sang istri juga pasti akan merdeka setelah sang suami meninggal dunia.[1] Dari sini kita bisa mendapat gambaran bahwa kemerdekaan sangat diprioritaskan dalam islam.
Allah juga menjadikan kemerdekaan budak sebagai sanksi dan hukuman bagi beberapa pelanggaran, seperti ayat al-Quran berikut:
وَمَاكَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَقُتَلَ مُؤْمِناً اِلَّاخَطَاءً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَاءً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَّةٌ مُسَلَّمَةٌ اِلَى اَهْلِهِ اِلَّا اَنْ يَصَّدَّقُوْا
Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin, kecuali karena tersalah dan barang siapa membunuh seorang mukminkarena tersalah maka (wajiblah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang di serahkan kepada keluarganya kecuali jika mereka bersedekah (QS an-Nisa’ [4]; 92).
Yang perlu di garis bawahi dari ayat tersebut adalah lafadz فتحرير رقبة yang merupakan sanksi pertama atas pembunuhan seorang mukmin. Hal ini merupakan salah satu cara yang di tempuh Allah SWT untuk memberantas perbudakan. Sanksi tersebut seakan menjadi titik tumpu dari beberapa sanksi yang lain, dengan dijadikan sebagai sanksi pertama dari beberapa pelanggaran yang harus dipenuhi jika mampu, seperti zihar (QS al-Mujadalah [58]:3-4), membatalkan sumpah (QS al-Maidah [5]:89), bersetubuh di siang hari Ramadhan bagi yang wajib berpuasa (H.R Bukhari dari Abi Hurairah).
Syekh Ibnu Ujaibah al-Hasani menjelaskan dalam kitabnya al-Bahru al-Madid fi Tafsiril-Quranil-Majid. Bahwa Allah SWT memerintahkan orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk menghidupkan orang lain sebagai ganti dari orang yang terbunuh, dengan cara mengeluarkannya dari hinanya perbudakan. Begitu hinanya perbudakan di mata islam, sampai-sampai kemerdekaan disetingkatkan dengan kehidupan.
Akhiran. Perspektif penulis, orang yang mengatakan al-Quran tidak up to date, secara tidak langsung mereka telah membenarkan atas kesempurnaan al-Quran, dengan mengatakan perbudakan telah musnah dari dunia ini. Semoga tulisan ini dapat menambah ilmu dan bermanfat bagi kita semua. Wallahu A’lam bis-Sawab.
M.ULIN NUHA/AnnajahSidogiri.Id
[1] Tuhfatut-Tullab