Sahabat setia #SerialAkidahAwam, mari kita bahas seputar Allah berbeda dangan selain-Nya. Syekh Ahmad al-Marzuqi, pengarang kitab Aqîdatul-‘Awâm mengatakan:
فَـاللهُ مَـوْجُـوْدٌ قَـدِيْمٌ بَاقِـي ۞ مُخَـالِـفٌ لِلْـخَـلْقِ بِاْلإِطْـلاَقِ
“Allah itu wajib ada, kidam, baka, serta berbeda dengan makhluk secara mutlak.”
Allah selaku pencipta, pasti berbeda dengan yang diciptakan. Mustahil Allah sama (mumâtsalah) dengan perkara baru.
Lihat postingan ini di Instagram
Bukankah Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, dan kita sendiri juga bisa melihat dan mendengar?
Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.”
(QS. Asy-Syura [42]:11)
Imam al-Wasithi sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya (VIII/450) menjelaskan bahwa sama-sekali tidak ada yang sama antara sifat Allah dengan sifat selain-Nya, meski dalam pelafalan ada kesamaan. Memang benar, manusia mendengar dan melihat, tetapi secara hakikatnya tidak sama. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
وَزَادَ الوَاسِطِي رَحِمَهُ اللهُ بَيَانًا فَقَالَ : لَيْسَ كَذَاتِهِ ذَاتٌ وَلَا كَأِسْمِهِ اِسْمٌ وَلَا كَفِعْلِهِ فِعْلٌ وَلَا كَصِفَتِهِ صِفَةٌ إِلَّا مِنْ جِهَةِ مُوَافَقَةِ اللَّفْظِ وَجَلَّتْ الذَاتُ القَدِيْمَةُ أَنْ يَكُوْنَ لَهَا صِفَةٌ حَدِيْثَةٌ كَمَا استَحَالَ أَنْ يَكُوْنَ لِلذَّاتِ المُحْدِثَةِ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ وَهَذَا كُلُّهُ مَذْهَبُ أَهْلِ الحَقِّ وَالسُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
“Imam al-Wasithi menambah penjelasan, beliau mengatakan: tiada zat yang sama dengan zat Allah. Tiada nama yang sama dengan nama Allah. Tiada pekerjaan yang sama dengan pekerjaan Allah. Tidak ada sifat yang sama dengan sifat Allah. Kecuali sekadar sama dalam segi pelafalan saja. Maha suci zat yang kidam memiliki sifat yang baru, sebagimana mustahil zat yang baru memiliki sifat yang kidam. Ini semua pendapat Ahlusunah Waljamaah.”
(Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân, VIII/450)
Mudahnya, yang bisa dikategorikan mumâtsalah apabila sama dalam segi sifat hakikinya (shifatun-nafsî). Bila tidak, maka tidak tergolong kategori sama. (Syarh Ummul-Barâhîn, hlm. 130)
Allah Maha Mendengar, tidak sama dengan kita mendengar. Kita mendengar masih membutuhkan alat pendengaran, berupa telinga. Pendengaran kita juga terbatas. Berbeda dengan Allah yang Maha Mendengar.
Lantas, mengapa kita tidak boleh meyakini bahwa Allah memiliki tangan meski tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk?
Bila kita mengatakan Allah bertangan, tentu ini sudah termasuk mumâtsalah. Karena sifat hakiki sebuah tangan adalah memiliki anggota/bagian (dzu ajzâ’). Mustahil ada tangan yang bukan berupa bagian terukur. Jadi ini sudah mumâtsalah. Berkenaan dengan itu Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ
“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)”
(Hilyatul-Auliyâ’, I/72)
Mengapa mengetahui hal ini penting?
Bila orang yang salah paham mengenai hal ini dikategorikan tidak tahu kepada yang disembah, bagimana orang itu bisa menyembah Allah dengan benar? Imam al-Ghazali pernah mengatakan sebagaimana dikutip dalam ar-Rasâ’il al-Mudhî’ah, hlm. 99:
لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
(Ar-Rasâ’il al-Mudhî’ah, hlm. 99)
Jadi, mengetahui Allah lengkap dengan sifat-Nya merupakan bekal utama kita dalam ibadah. Bila keyakinan kita salah, besar kemungkinan ibadah kita pun juga salah. Na’ûdzubil-Lâh!
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id