Tahun 2014 silam, Direktur Annajah Center Sidogiri, Ust. Achyat Ahmad mengungkapkan dalam artikel yang berjudul Pluralisme Agama dan Teologi Jahiliah bahwa ada upaya dari kaum liberalis untuk menghaluskan istilah pluralisme menjadi kata toleransi. Pengaburan istilah semacam ini, yang perlu disalahkan terlebih dahulu, dalam kasus maraknya toleransi yang kebablasan. Peristiwa yang dicontohkan beliau dalam hal ini semisal, doa bersama semua agama, nikah lintas agama, dan pindah agama secara bebas. Dengan beberapa kejadian semacam ini, seakan pelakunya tidak bisa membedakan antara toleransi dan pluralisme.
Perbedaan Toleransi dan Pluralisme Agama
Dalam bahasa Arab, toleransi masyhur dengan istilah tasamuh. Dalam kamus al-Wasith asal kata dari tasamuh ialah samh yang memiliki arti: kemurahan hati. Syekh Dr. Yusuf al-Qardhawi, dalam Ghair Muslimin fil-Mujtama’ al-Islami (53-55) menjelaskan bahwa orang Islam terdorong melakukan toleransi dengan empat hal: yakin akan kemuliaan manusia tanpa memandang agama, yakin perbedaan yang terjadi murni kehendak Allah, yakin bahwa yang berhak menghakimi keimanan seseorang ialah Allah semata, dan yakin Allah memerintahkan berbuat adil kepada manusia sekali pun musyrik serta mengutuk perbuatan zalim meski pun kepada orang kafir. Takrif ini juga tercantum dalam Wikipedia sebagaimana berikut: suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Seperti tidak memaksakan orang lain untuk menganut agama kita; tidak mencela/menghina agama lain dengan alasan apapun; serta tidak melarang ataupun mengganggu umat agama lain untuk beribadah sesuai agama/kepercayaannya.
Takrif semacam ini bertolak belakang dengan pemahaman pluralisme agama. “Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini (pluralisme agama, red) tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya,” begitu kata Wikipedia. Hal ini senada dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang mengartikan pluralisme agama dengan:
“Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.” (sumber: mui.or.id)
Hadis Tentang Toleransi
Dalam Islam, toleransi dalam arti menghormati memang terdapat dalam keseharian nabi. Seperti halnya hadis berikut ini:
عن أنس رضي الله عنه قال: كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: «أَسْلِمْ»، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ، فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: «الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ. رواه البخاري
Sahabat Anas bin Malik RA mengisahkan, “Ada anak laki-laki Yahudi, pelayan Nabi SAW jatuh sakit. Nabi SAW menjenguknya. Beliau duduk di sisi kepala anak itu dan bersabda, “Mari masuk Islam.” Anak itu pun menatap ayahnya yang ada di sampingnya. Ayahnya engatakan, “Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad).” Lalu, anak itu masuk Islam, Nabi SAW keluar seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Al-Bukhari)
Selain itu banyak kisah lain yang mencerminkan belas-kasih Nabi Muhammad SAW kepada orang yang beda agama. Semisal, nabi menjenguk orang kafir yang selalu meludahinya, menyuapi orang buta yang selalu mencaci-makinya, dan banyak kisah lain tentang hubungan harmonis nabi dengan penganut agama lain yang masih hidup.
Jangankan yang masih hidup, sudah mati pun tetap beliau hormati. Seperti hadis dari sahabat Abdurrahman bin Abi Layla, yang mengatakan suatu saat ada jenazah melewati Qadisiyah. Sahl bin Hunaif dan Qais bin Saad juga ikut menyaksikan. Keduanya sontak berdiri. Lalu ada orang melarang, lantaran jenazah tersebut non-muslim. Akhirnya keduanya menjelaskan:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ جَنَازَةٌ فَقَامَ ، فَقِيلَ : إِنَّهُ يَهُودِيٌّ ؟ فَقَالَ : أَلَيْسَتْ نَفْسًا
“Rasulullah SAW pernah berdiri saat ada jenazah lewat. Ada orang yang memberi tahu, ‘Jenazah tersebut orang yahudi.’ Beliau menjawab, “Bukankah dia juga manusia.” (HR. Muslim)
Batasan Toleransi
Bila Anda membuka kitab-kitab fikih, kata tasamuh kerap bertebaran dalam pembahasan transaksi dengan non-muslim. Islam tidak pernah melarang orang Islam melakukan transaksi dengan non-muslim. Hanya saja, dalam kasus penjualan mushaf ulama mensyaratkan pembelinya harus Islam. Tidak boleh menjualnya kepada orang non-muslim, lantaran ada unsur ihanah, dan sudah melangkahi terhadap aturan agama, yakni ayat yang berbunyi:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” (QS. Al-Waqi’ah: 79)
Dalam Islam ada aturan, tidak boleh menyentuh al-Quran kecuali orang-orang yang suci, baik hadas kecil, apalagi hadas besar. Tentunya dalam hal ini hanya orang muslim. Dari sanalah, syariah melarang penjualan mushaf kepada orang non-muslim.
Mungkin, dengan penjelasan singkat ini, sudah memberi gambaran jelas akan Batasan bertoleransi. Mari bertoleransi sesuka hati, tetapi ingat, jangan melampaui norma-norma agama.
Dalil Toleransi Bukan Untuk Kaum Plural
Toleransi antar umat beragama memang sangat baik, tetapi bukan berarti kita boleh memiki pemahaman pluralisme agama. Apalagi melakukan tindakan yang mengandung unsur plural, atas dasar toleransi. Parahnya lagi, menghalalkan pluralisme dengan dalil-dalil toleransi.
Dalil yang biasa mereka pakai sebagai pelindung buatan ialah surah al-Kafirun ayat enam yang berbunyi:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)
Dengan ayat tersebut mereka menganggap dalam Islam ada legalitas untuk pluralisme agama. Kaum pluralis beranggapan bahwa dalam ayat tersebut terselip nilai relatifisme dalam agama, sehingga kebenaran sebuah agama tidak mutlak, tergantung penganutnya. Namun, bila memakai logika sehat, surah al-Kafirun sebenarnya malah melarang adanya pencampur-adukkan agama. Lihatlah Tafsir ath-Thabari mengenai asbabun nuzul dari surah tersebut.
Baca Juga: Mimpi Para Nabi Adalah Wahyu
Imam Thabari mengutip sejarah ayat tersebut dari Sahabat Abdullah bin Abbas. Menurut beliau, orang kafir Quraisy melakukan penawaran kepada Nabi Muhammad untuk saling menghormati dengan cara bergantian dalam melakukan penyembahan. Hari ini orang Quraisy menyembah Allah. Hari berikutnya orang Islam menyembah berhala. Begitu seterusnya, saling bergantian. Lalu turunlah surah al-Kafirun sebagai larangan kepada umat Islam untuk “toleransi” dengan melangkahi hukum agama, yakni berani menyembah tuhan selain Allah. Sama persis dengan ayat kesembilan dari surah al-Qalam.
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). (QS. Al-Qalam: 9)
Syekh Prof. Dr. Wahbah menafsirkan ayat tersebut dalam Tafsir Wajiz-nya dengan penjelasan orang kafir menginginkan umat Islam menneg, tidak menyalahkan kebatilan mereka, sehingga mereka baru bersikap lemah kepada umat Islam. Hal semacam inilah yang akan merusak akidah bangsa.
Baca: Uluhiyah dan Rububiyah, Sama atau Beda?
Namun, bukan hanya ayat itu yang menjadi dalih pembenaran. Mereka berkelit dengan surah al-Baqarah ayat 62, yang berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 62)
Secara lahiriyah ayat tersebut seakan membenarkan pemahaman pluralisme yang beranggapan yang bisa masuk surga, alias mendapat pahala itu bukan hanya agama Islam saja. Orang Yahudi, Nasrani, Shabiin dan agama lainnya juga berhak masuk surga, asal taat beragama (beramal saleh).
Nah, beginilah ulah kaum pluralisme untuk mengelabui umat Islam. Mereka hanya melihat teksnya saja, tanpa melihat tafsirnya seperti apa. Dalam Tafsir Jalalain Imam Mahally menjelaskan perihal ayat tersebut. Ayat itu menerangkan perihal orang kafir yang masuk Islam, itu juga patut mendapat pahala. Mendapat pahala pula orang Nasrani dan Yahudi yang hidup tidak sekurun dengan nabi, tetapi beriman kepada Allah dan hari kiamat serta beramal saleh. Syekh Wahbah az-Zuhaili memberikan contoh syuyukh-nya (gurunya) Sahabat Salman al-Farisi sebelum masuk Islam. Karena ajarannya masih murni, beliau-beliau masuk surga. Dalam sejarahnya, Sahabat Sahabat Salman al-Farisi merupakan sahabat yang berumur ribuan tahun, dan hidup ribuan tahun sebelum nabi lahir. Saat itulah Salman al-Farisi berguru kepada uamat Nasrani yang masih murni.
Penutup Sekaligus Penjelasan Tentang Rahmatan lil Alamin
Sebelum menutup tulisan ini, saya kira ada baiknya juga menampilkan ayat yang menjadi tema milad Pondok Pesantren Sidogiri tahun lalu, yaitu ayat:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Tiga tahun lalu, sempat ada seminar ilmiyah yang bertemakan, “Hitam-Putih Toleransi”. Narasumber yang waktu itu ialah KH. Najih Maimoen Zubair, Jawa Tengah. Kala itu Kabar Ikhtibar dan Harian Maktabati meliput acara tersebut. Mengenai ayat tersebut, beliau menyampaikan bahwa pengertian sebenarnya tentang ayat tersebut ialah Nabi Muhammad rahmat kepada umat Islam saja, tanpa memandang ras, suku dan budaya. Dengan meninjau ayat sebelumnya, yang berbunyi:
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ * إِنَّ فِي هَذَا لَبَلَاغًا لِقَوْمٍ عَابِدِينَ
“(105) Dan sungguh telah Kami tulis dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwa bumi Ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (106) Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam (Surat) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah (Allah).” (QS. Al-Anbiya’: 105-106)
Menurut beliau, ayat ini tertuju kepada shalihûn yang berarti orang muslim, bukan kafir. Namun buakan Mbah Najih mengingkari rahmat Nabi Muhammad kepada orang kafir. Karena, menurut beliau, rahmat Nabi kepada orang kafir ialah raf’ul (tidak adanya) adzab al-musta’shil, layaknya azab yang menimpa umat nabi lain terdahulu. Wallahu a’lam
Muhammad ibnu Romli |Pemred Annajahsidogiri.id
Comments 0