Kemarin saya melihat salah satu kanal Youtube yang kontennya membahas cocoklogi antara fakta sains dan ayat al-Quran. Dia mengajukan pertanyaan kepada beberapa pihak (yang menurutnya sering mengaitkan sains dan al-Quran), di antaranya Rumah Editor (kanal Youtube), Ust. Adi Hidayat, dan Dr. Zakir Naik. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan, tapi saya akan fokus pada satu hal: apa yang menjadi bukti al-Quran itu benar? Beberapa pihak (umat Islam tentunya) menganggap bahwa saat sains membuktikan suatu hal dan ternyata (dalam padangan mereka) al-Quran sudah menyinggungnya, itu merupakan bukti bahwa al-Quran itu benar. Kanal ini menyangsikan anggapan pihak-pihak tadi. Lebih lanjut dia bertanya, kalau patokan kebenarannya adalah ini, berarti jika ada kitab suci umat lain (atau siapapun) yang melakukan hal yang sama, apakah kitab umat lain itu juga bisa dianggap benar atau sakral?
Pembuktian Kebenaran al-Quran
Saat kebenaran seorang nabi harus dibuktikan dengan mukjizat, Allahﷻ memberikan mukjizat bermacam-macam kepada para utusannya, yang kiranya sesuai dengan kondisi umat.
Di zaman Nabi Musa, sihir menjadi primadona. Orang yang mempunyai sihir akan dianggap luar biasa. Maka untuk membuktikan kebenaran Nabi Musa, Allah ﷻ memberikan mukjizat bisa mengubah tongkat menjadi ular. Bukannya umat Nabi Musa tidak bisa menjadikan tongkat menjadi ular. Mereka semua bisa. Akan tetapi untuk membuat yang sebesar milik Nabi Musa, mereka tidak ada yang sanggup.
Di zaman Nabi Isa, pengobatan menjadi hal yang sangat penting. Maka Allahﷻ menganugerahi Nabi Isa dengan mukjizat bisa menyembuhkan seorang yang tunanetra dari lahir, bahkan bisa menghidupkan kembali orang meninggal. Masyarakat waktu itu bukannya tidak bisa mengobati, namun untuk sampai ke level mengobati penyakit buta dari lahir dan kematian, tidak ada yang sanggup.
Di zaman Nabi Muhammadﷺ, orang-orang Arab sedang mengandungi sastra. Maka Allahﷻ memberi Nabi Muhammad ﷺ mukjizat al-Quran, yang lafaz dan susunannya luar biasa indah.
Baca Juga: Sikap Ahlussunnah Menghadapi Dinamika Perbedaan
Dari penjelasan ini kita bisa melihat polanya, bahwa konsep yang benar ialah: yang melegitimasi kebenaran seorang nabi adalah mukjizatnya. Atau bahasa lainnya, yang bisa menjamin kebenaran nabi bahwa dia adalah seorang utusan dari Allahﷻ adalah mukjizat.
Sekarang apa yang menjamin kebenaran mukjizat? Tentu kebenaran mukjizat, seperti al-Quran misalnya, tidak bisa dilegitimasi oleh dirinya sendiri. Misalnya ada orang yang bertanya, kenapa al-Quran itu benar? Lalu dijawab, “Ya karena al-Quran mengatakan begitu.” Tidak boleh ada sesuatu, yang kebenarannya beralasan kepada sesuatu itu sendiri. Ini serupa dengan pertanyaan, “Kenapa Islam benar?” Kemudian dijawab, “Ya karena Islam yang mengatakannya.”
Juga tidak bisa kita katakan, bahwa kebenaran al-Quran karena kebenaran kenabian Nabi Muhammadﷺ. Hal itu akan berkonsekuensi pada terjadinya daur (lingkaran). Nanti jadinya malah begini: “Kebenaran kenabian Nabi Muhammadﷺ dibuktikan dengan kebenaran al-Quran. Sedangkan kebenaran al-Quran dibuktikan dengan kebenaran kenabian Nabi Muhammadﷺ.”
Dua contoh justifikasi pembenaran al-Quran di atas masuk kategori cacat logika berupa petitio principi atau dalam istilah Arab, al-Mushadarah ‘ala al-Mathlub.
Pembuktian kebenaran al-Quran mau tidak mau harus berdasarkan sesuatu di luar al-Quran itu sendiri dan tidak boleh berdasarkan kenabian Nabi Muhammadﷺ. Lalu apakah sesuatu itu?
Menjawab pertanyaan ini, kita harus tahu dulu bahwa setiap mukjizat pasti ada sisi i’jaz atau pelemahan kepada orang lain dan membuat dia tidak bisa melakukan hal yang sama. Sisi i’jaz al-Quran ada pada keindahan lafaz dan susunannya. Bukti bahwa kemudian al-Quran itu memiliki sifat i’jaz, menurut Syaikh Salim Abu ‘Ashi dalam La Ya’tuna bi Mislihi, adalah tajribah (eksperimen) dan musyahadah (observasi).
Tajribah dan musyahadah dalam artian bahwa al-Quran sudah menantang orang Arab (atau siapapun) untuk membuat yang sama dengan al-Quran. Sudah ada beberapa yang mencobanya, namun, tentu menurut para pakar sastra dan bahasa Arab, sama sekali tidak mendekati keindahan lafaz dan susunan al-Quran.
Syaikh Bilal an-Najar, salah satu murid Syaikh Said Foudah dalam satu video kajian di kanal beliau, juga menyampaikan bahwa pembuktian kebenaran al-Quran harus berasal dari luar al-Quran itu sendiri. Beliau menjelaskan bahwa, akal lah yang melegitimasi kebenaran al-Quran. Mungkin, kalau digabung dengan penjelasan Syaikh Salim, akal akan menangkap kebenaran al-Quran setelah melalui pembuktian tajribah dan musyahadah.
Baca Juga: Bagaimana al-Quran Diturunkan?
Yang perlu ditekankan, menurut Syaikh Salim, bahwa sisi i’jaz al-Quran adalah keindahan lafaz dan susunannya, bukan sesuatu selain itu, seperti misalnya informasi yang mungkin terkandung dalam al-Quran dan terbukti di kemudian hari. Yang ditantang oleh al-Quran ialah mendatangkan yang sama seperti al-Quran atau setidaknya satu surat (berisi 3 ayat) saja. Sehingga, andaikan ada kitab umat lain yang bisa menyamai al-Quran dari segi pengetahuan berupa hal ghaib (belum diketahui di waktu itu) yang ternyata terbukti di kemudian hari, maka itu sama sekali belum memenuhi tuntutan al-Quran.
Tidak bisa kemudian ada orang yang mengatakan bahwa Weda (kitab suci agama Hindu) sama sucinya dengan al-Quran, karena Weda sudah lama membicarakan tentang atom yang ternyata dibuktikan oleh pengetahuan modern (ini tentu dengan asumsi kita sepakat pada tafsir sains atau tafsir yang berusaha dicocokkan dengan sains modern. Mengingat para ulama sendiri masih berbeda pendapat. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Insyaallah kapan-kapan akan kami tulis perdebetan tentang tafsir sains ini).
Kesimpulannya, al-Quran itu benar (dari Allah bukan buatan manusia) karena terbukti secara berkali-kali bahwa tidak ada manusia yang bisa menyamai apalagi menandinginya. Yang menjadi tuntutan atau tantangan al-Quran ialah membuat yang sama seperti al-Quran secara lafaz dan susunan, bukan sekadar muatan informasi (ilmiah) belaka. Wallahu a’lam.
Badruttamam | annajahsidogiri.id