Barangkali sebagian orang berpikir, bagaimana api tidak bisa membakar Nabi Ibrahim? Bagaimana mungkin Nabi Musa pernah membelah lautan? Kejadian semacam itu terasa ada yang janggal, bahkan seolah tidak masuk akal. Lalu bagaimana argumentasi ahlusunah dalam memosisikan mukjizat nabi agar diterima ole akal manusia?
Allah adalah pencipta segala sesuatu di dunia ini, tak terkecuali hukum kausalitas yang berjalan di tengah-tengah manusia. Allah yang menciptakan kejadian “terbakar” saat api menyentuh sesuatu. Allah pula yang menciptakan air yang bersifat “menurun”. Semuanya telah ditata dan ditentukan oleh Allah sesuai kehendak-Nya. Jika sewaktu-waktu Allah mengubah tatanan tersebut, sebagaimana api tidak membakar Nabi Ibrahim dan air yang terbelah “meninggi” dalam kisah Nabi Musa, hal itu tetaplah masuk akal. Alasannya membakar ataupun tidak, keduanya sama-sama ketentuan dari Allah. Bedanya, yang pertama (membakar) begitu sering terjadi, dan yang kedua (tidak membakar) jarang terjadi.
Baca Juga: Posisi Akal dalam Islam
Mungkin karena hal itu para ulama mendefinisikan mukjizat sebagai “sesuatu yang menyalahi kebiasaan” bukan “sesuatu yang menyalahi akal” sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Baijuri dalam kitab Tuhfatul Murid-nya.
Dalam kajian ilmu teologi dijelaskan bahwa sesuatu dikatakan mustahil jika akal tidak membenarkan keberadaannya. Sedangkan mukjizat para nabi, mungkin saja terjadi menurut akal, meski pada kenyataannya kita belum pernah mengalaminya. Ketidakpahaman terhadap arti mustahil ini tak ubahnya Badui yang mengatakan “mustahil” kepada orang yang menceritakan kepadanya bahwa ada kereta yang berjalan tanpa ditarik oleh hewan, hanya karena dia belum penah mengalaminya.
Sebenarnya mukjizat tidak memiliki arti yang esensial, sebab andaikan kejadian ajaib itu terjadi secara terus menerus, maka hal itu tidak akan lagi disebut mukjizat. Semua yang ada di sekitar kita, bahkan diri kita sendiri sebenarnya adalah mukjizat. Akal, ruh, DNA termasuk juga mukjizat yang tak seorang pun bisa menciptakan sesamanya. Tapi karena semua itu sudah dianggap biasa terjadi, maka nilai keajaiban atau mukjizat di dalamnya tak begitu terasa.
Maka, yang menjadi titik tekan adalah semua kejadian di dunia ini tidak terlepas dari kehendak dan kekuasaan Allah, baik yang terus menerus terjadi atau tidak. Setelah semua itu, akal kita tidak akan mengingkari peristiwa menakjubkan yang dibawa para nabi, karena sekalipun tidak sesuai dengan adat yang berlaku, hal itu tetap sejalan dengan akal.
Redaksi | Annajahsidogiri.id