Pada hari Ahad, 10 Agustus 2025, saya diminta mengisi sebuah diskusi kecil bersama kader HMASS (Harakah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri) Sampang, Jawa Timur. Tema yang diangkat adalah mengenai Ahlusunah wal-Jamaah dan tantangan AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan.
Saya pikir tema ini unik. Sisi keunikannya terletak pada usaha mempertemukan antara sesuatu “yang tetap” dengan sesuatu “yang berubah” atau ats-tsabit wal-mutaghayyir. Ahlusunah wal-Jamaah adalah konsep yang tetap. Ia tidak berubah sejak zaman Nabi ﷺ hingga kini dan nanti. Sedangkan AI adalah bagian dari teknologi yang terus berubah dan berkembang seiring perubahan ruang dan waktu.
Dalam diskusi ini, mula-mula kita harus menempatkan masing-masing pada proporsinya yang tepat. Dimana kita mesti meletakkan konsep Aswaja (Ahlusunah wal-Jamaah)? Dan di mana pula kita harus meletakkan posisi AI? Hal ini sangat penting, karena kekeliruan dalam meletakkan dan memetakan masalah sebagai premis-premis, bisa menyebabkan kerancuan dalam mengambil kesimpulan dan solusi.
Secara garis besar, sebenarnya posisi Aswaja dan AI sudah jelas dan bisa dimengerti oleh semua orang, bahwa Aswaja sebagai konsep yang tetap harus dijadikan standar bagi AI sebagai fenomena yang terus berkembang. Karena jika kita hendak menjadikan sesuatu sebagai standar, maka syarat utamanya adalah bahwa sesuatu itu harus memiliki sifat yang tetap, tidak berubah-ubah, dalam ruang dan waktu apapun. Jika sesuatu yang kita hendak jadikan sebagai standar ternyata tidak memiliki sifat yang tetap, maka ia hanya akan membingungkan dan tidak bisa memberikan jawaban yang pasti.
Jika misalnya kita mau mengukur suatu objek, maka yang kita lakukan sudah pasti mengambil alat ukur, seperti meteran atau penggaris. Kenapa demikian? Karena meteran atau penggaris adalah sesuatu yang sudah tetap dan disepakati sebagai alat ukur. Lalu apa jadinya jika seseorang mengukur suatu objek dengan menggunakan langkah kaki, atau jengkal tangan? Tentu hal itu bisa menimbulkan kontroversi, sebab langkah kaki atau jengkal jari-jari tangan berbeda-beda dan berubah-ubah, meninjau orang per orang.
Baca Juga: Tantangan Membumikan Akidah Aswaja di Indonesia
Karena itu, di sini tidak ada pilihan selain menyepakati bahwa konsep Aswaja harus dijadikan standar untuk mengukur AI, atau menjadi hakim untuk menghakimi AI, dan bukan sebaliknya. Sebab Aswaja adalah konsep yang tetap, sehingga layak dijadikan media untuk mengukur atau menilai segala sesuatu yang berubah-ubah dan berkembang, seperti AI atau perkembangan teknologi apapun.
Dengan demikian, adalah keliru jika ada orang yang mengatakan bahwa agama Islam sudah ketinggalan zaman, atau tidak mengikuti perkembangan zaman. Sebab agama Islam memang tetap, tsabit, agar bisa mengukur dan menilai segala sesuatu dengan berbagai perkembangannya. Sebab jika Islam ikut berubah-ubah, maka ia tidak layak dijadikan sebagai standar. Maka menuntut agama Islam untuk berubah mengikuti perubahan zaman adalah konyol, seperti halnya orang meminta ukuran-ukuran seperti milimeter, centimeter, dan sebagainya, untuk direvisi berdasarkan objek yang diukur.
***
Persoalan kedua yang perlu kita diskusikan terkait kehadiran AI di tengah-tengah kita, adalah dampaknya yang signifikan terhadap perubahan perspektif orang banyak mengenai keahlian atau kepakaran. Kini orang mulai berperilaku sok ahli dalam berbagai bidang, hanya karena mereka bisa menemukan tutorialnya di internet atau bisa bertanya kepada AI. Padahal secanggih apapun teknologi, ia tidak bisa menggantikan keahlian atau kepakaran, apalagi menggantikan otoritas keagamaan dalam permasalahan yang berhubungan dengan agama Islam.
Salah satu ancaman dari tren penggunaan AI terhadap ajaran agama adalah ketika umat beragama tidak memahami standar-standar keilmuan dan standar aplikasinya yang benar. Di zaman AI, agama akan mengalami masalah ketika orang beragama berpikir bahwa AI bisa menggantikan para pakar keagamaan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan. Bagaimanapun, ini adalah pangkal kerusakan yang telah menyebar di sekeliling kita.
Pada tahun 2017, seorang profesor di US Naval War College, Tom Nichols, menulis buku berjudul “The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters”. Buku ini menyoroti kecenderungan pengguna internet yang justru merasa pakar dalam berbagai hal, hanya mereka bisa mengetik dan menanyakan apapun di mesin pencari Google. Kondisi itu menyebabkan masyarakat merasa percaya diri berlebih, merasa serba tahu, dan bahkan merasa lebih tahu dari pakar apapun di berbagai bidang dan disiplin ilmu pengetahuan.
Baca Juga: Fungsi dan Tugas “Singa Aswaja”
Jika kita mengamati dengan seksama, maka betapa sindrom “Death of Expertise” ini bukan hanya terjadi di dalam urusan duniawi semata, malah juga menimpa pada persoalan agama. Ketika beberapa waktu lalu Bahtsul Masail di sebuah pesantren salaf di Pasuruan memutuskan hukum haramnya sound horeg, yang kemudian keputusan tersebut diperkuat dengan fatwa dari MUI Jawa Timur, kita melihat betapa banyak orang awam yang merasa lebih tahu tentang hukum fikih daripada para pakar fikih, bahkan mereka menganggap ulama tidak berkompeten dan ceroboh dalam memberikan fatwa.
Maka dari itu, untuk menanggulangi ekses negatif seperti itu, umat Islam harus tetap berpegang pada konsep bermazhab dalam Ahlusunah wal-Jamaah, dan bahwa siapapun yang belum mencapai level berijtihad dilarang berijtihad, yang belum mencapai level berfatwa tidak seharusnya merecoki urusan fatwa, dan bahwa tugas masyarakat awam hanya mengikuti apa yang difatwakan oleh ulama, atau paling banter adalah bertanya kepada ulama mengenai segala apa yang mereka tidak tahu dalam urusan agama.
Bagaimanapun, dan sampai kapanpun, AI tidak akan pernah bisa menggantikan ahli fikih, ahli tafsir, ahli ushul, dll. dalam ilmu-ilmu keislaman. Jikapun kecerdasan AI itu memang terbukti akurat dan bahkan mungkin melebihi semua ahli fikih di seluruh dunia, paling banter AI hanya bisa dijadikan sebagai alat bantu, dan itupun yang bisa memanfaatkannya hanya mereka yang punya keahlian di dalam fikih.
Bahkan sebetulnya, menggantungkan segala persoalan pada AI bukan hanya keliru dari sudut pandang agama, melainkan juga keliru menurut pakar dan pembuat AI itu sendiri. Sam Altman, CEO OpenAI, mengungkapkan keheranannya terhadap tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap ChatGPT, meskipun teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) ini dikenal kerap menghasilkan informasi yang salah atau menyesatkan. “Orang-orang sangat percaya pada ChatGPT, dan itu menarik, karena AI ini suka berhalusinasi. Seharusnya ini jadi teknologi yang tidak terlalu kamu percayai,” kata Altman dalam episode perdana podcast terbaru OpenAI, dikutip dari laman Yahoo Finance pada Rabu (25/6/2025).
Altman mengingatkan kepercayaan ini tidak pada tempatnya. Risiko ketergantungan pada informasi dari AI sangat berbahaya, terutama dalam bidang-bidang sensitif seperti kesehatan, hukum, dan pendidikan. Dia menegaskan pentingnya kesadaran dan berpikir kritis dari para pengguna karena AI bisa saja mengarang dan tidak boleh dipercaya secara membabi buta.
Moch. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri