Mungkin salah satu dari kita pernah mengambil suatu keputusan, dengan berbagai pertimbangan yang sudah matang, namun tidak selang beberapa lama, timbullah pemikiran bahwa keputusan yang diambil kurang tepat, lalu kita ganti dengan keputusan baru yang menurut kita lebih tepat. Hal semacam ini sudah lumrah kita alami dalam kehidupan sehari-hari, karena hal tersebut memang merupakan hal yang manusiawi. Namun, bagaimana jika hal demikian dinisbatkan pada Allah yang maha mengetahaui segalanya?
Begitulah bada dalam keyakinan Syiah. Mereka meyakini bahwa Allah bisa memiliki ide-ide baru, menyesal dan juga bisa salah. Yang aneh, justru dengan meyakini akidah tersebut, agama seorang hamba akan menjadi sempurna dan ia akan mendapat pahala yang melimpah dari Allah, sebagaimana pendapat yang mereka tukil dari Malik al-Juhni sebagai berikut:
لَوْعَلِمَ النَاسُ مَا فِيْ اْلقَوْلِ بِاِبْدَاءٍ مِنَ اْلأَجْرِ مَا فَتَرُوْا مِن اْلكَلَامِ فِيْهِ
“Andaikan semua orang tau pahala yang didapat dengan meyakini bada niscaya mereka akan tegas menyatakannya.”
Hal demikian sebab bada berfungsi sebagai benteng penguat doktrin pokok mereka tentang Imamah. Mereka menyakini bahwa para imam mereka maksum, mengetahui hal-hal gaib dan mewarisi ruhul-quds-nya para nabi. Nah, ketika terjadi kesalahan yang muncul dari para imam, mereka menutupi celah tersebut dengan mengatakan bada.
Baca juga : Sejarah Kemunculan Syiah
Para pemuka Syiah kontemporer menganalogikan bada dengan pergantian syariat yang lazim disebut nasakh. Mereka mengklaim bahwa keduanya sama, padahal nyatanya berbeda. Sebab subtansi dan arti dari nasakh adalah penjelasan hukum sementara yang sudah habis masa berlakunya, lalu Allah menampakkan hukum gantinya.
Yang perlu ditekankan di sini bahwa hakikat dari nasakh bukanlah ada perubahan dalam Ilmullah, melainkan Allah memunculkan sebuah hukum yang sebelumnya masih samar bagi manusia (namun jelas bagi Allah). Nah, hukum tersebut dikatakan baru jika dinisbatkan pada manusia, sebab mereka baru mengetahuinya setelah ditampakkan oleh Allah melalui perantara wahyu kepada Nabi Muhammad. Jika disandarkan pada Allah, maka sejatinya tidak ada yang baru sama sekali, sebab Allah sudah mengetahuinya sejak zaman azali dan tidak akan pernah ada perubahan pada Ilmullah. Senada dengan pernyataan para pakar Ushûl :
تَبْدِيْلاً فِي حَقِّنَا بَيَانًا مَحْضًا فِي حَقِّ صَاحِبِ الشَّرْعِ
“Pergantian dalam kacamata kita, jelas bagi Allah[1]”
Sekali lagi ini merupakan skenario yang telah Allah tulis pada zaman azali, dan telah ada dalam ilmu-Nya. Nasakh sesuai penjelas di atas sangat kontras dengan bada. Aebab subtansi dari bada adalah adanya perubahan dalam Ilmullah, dengan kata lain, Allah bisa jadi salah dalam mengambil suatu keputusan, lalu mengantinya dengan yang baru, sebagaimana riwayat yang termaktub dalam kitab al-Kâfi -kitab Sahih Bukhari ala Syiah- berikut:
نَعَمْ يَا أَبَا هَاشِم بَدَا للهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْ أَبِيْ محَمَّد بَعْدَ أَبِيْ جَعْفَر يَعْرِفُ لَهٌ
“لآenar wahai Abi Hasyim. Tampak pada Allah dalam diri Abi Muhammad sesuatu yang belum diketahui-Nya.[2]”
Di samping itu, ulama Syiah lupa–atau pura-pura lupa–bahwa nasakh sudah berakhir dengan wafatnya pembawa syariat. Berbeda dengan bada yang akan terus berlaku sesuai keinginan hati mereka.
Jadi, usaha susah payah mereka dalam mengutarakan doktrin bada tetap tidak membuahkan hasil, malah semakin memperparah celah dan kerancuan mereka dalam berpikir.
Sholahuddin Alayyubi | Annajahsidogiri.id
[1] ‘Aunul-Murid (hlm. 526)
[2] Ushul al-Kafi,hlm