Pembahasan mengenai rezeki tentunya memilki perhatian khusus dalam kazhanah keilmuan Islam. Hal itu sebab, rezeki adalah hal penting dalam kehidupan sehari-hari, di mana, seorang Muslim pasti membutuhkannya secara naluri, agar ia bisa bertahan hidup dan selainnya. Dalam beberapa ayat al-Quran dan Hadits, kata rezeki berkali-kali disebutkan. Artinya, kita sebagai pegiat ilmu Islam sudah seharusnya mengetahui bagaimana konsep yang benar mengenai rezeki dalam syariat ini.
Salah satu cendikiawan Muslim yang membahas tentang konsep ini ialah Syeikh Al-Bajuri dalam mahakaryanya yang bertajuk Tuhfah al-Murid, saat menjelaskan isi bait nazam kitab kecil Jauharatut-Tauhid, karya Al-Laqqani. Dalam kitab itu, Al-Bajuri menjelaskan bahwa pengertian rezeki dalam pandangan Ahlusunnah wal Jamaah adalah sebagaimana berikut;
ما ساقه الله الى الحيوان فانتفع به بالفعل
Sesuatu yang Allah berikan pada setiap makhluk-Nya, kemudian sesuatu itu bisa dimanfaatkan olehnya secara nyata.[1]
Baca Juga; Allah seperti Anak Muda Berambut Keriting
Dari definisi di atas, dapat kita pahami bahwa sesuatu yang sudah dimiliki seorang hamba, kemudian ia tidak dapat memanfaatkannya, maka yang dimiliki hamba tadi bukanlah rezekinya. Kita tarik saja satu contoh, semisal, Syahrul si pekerja keras setelah mendapatkan uang bayarannya, kemudian uang tersebut hilang atau semisal ia berikan pada orang lain. Maka dalam contoh ini, uang tersebut bukanlah rezeki Syahrul jika kita mengikuti pandangan Ahlusunnah, sebab, sebagaimana pemahaman di muka, Syahrul toh meskipun memilikinya, ia tidak dapat memanfaatkan bayarannya.
Hal ini berbeda dengan pemahaman sekte Muktazilah, bahwa rezeki menurutnya, tidak harus bisa dimanfaatkan oleh si pemiliknya. Intinya seseorang memiliki suatu harta atau semacamnya, maka menurut mereka, yang milikinya itu bisa dikategorikan sebagai rezeki.
Baca Juga; Aswaja dan Tantangan AI (2)
Kemudian, masih dalam kitab yang sama, Al-Bajuri membagi rezeki menjadi dua bagian, yaitu secara lahir dan batin. Yang lahir tersebut ia arahkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan badan, seperti kekuatan, makanan, dls. Lalu yang batin ia spesifikkan ke ranah hati, seperti ilmu dan makrifat.[2]
Pembagian Rezeki
Perlu juga dijelaskan di sini, bahwa rezeki dalam pandangan Alusunnah rezeki itu dibagi menjadi tiga; halal, makruh, dan haram. Banyak kalangan Muslim yang salah menangkap arti rezeki halal yang sebenarnya. Arti halal yang sebenarnya ialah, sesuatu yang telah dilegalkan (mubah) secara nash, ijmak, dan qiyas jali (analogi jelas). Artinya ialah perkara yang secara lahirnya sudah dinyatakan benar-benar halal dengan dasar keyakinan atau dzan (prasangka). Di sini kita dituntut untuk tidak terlalu dalam untuk menelisik mengenai esensi kehalalan. Sebab, pada hakikatnya perkara halal itu hanya Allah yang mengetahuinya. Maka kita sebagai makhluk tidak dipaksa atas apa yang bukan ranah kita, melainkan ranah Tuhan.
Pembagian di atas jelas berbeda dengan yang dimiliki Muktazilah. Sebagai sekte yang selalu meprioritaskan akal, mereka sudah barang tentu menafikan pembagian yang berupa haram, sebab berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa Allah wajib berbuat as-Shalah wa al-Ashlah[3]
Moch Rizky Febriansyah | AnnajahSidogiri
[1] Al-Bajuri, Tuhfah al-Murid Syarhu Jauharah at-Tauhid, cet. Al-Haramain, hal. 126
[2] Ibid.
[3] Perbuatan baik yang harus dikerjakan oleh Allah sebagai Mahabaik kepada hamba-Nya.































































