“Alhamdulillah, akhirnya wujud aslinya jelas dan bukan abu-abu lagi.”
“Jadi semua umat Islam intinya mendukung perpindahan agama dia. Dari pada KTP Islam, tapi jiwa raga bukan Islam.”
“Kami sekeluarga mengucapkan selamat atas kemurtadannya.”
Kutipan di atas hanyalah segelintir (dari banyak sekali) komentar menanggapi perpindahan agama seorang tokoh perempuan dari Islam ke Hindu. Dari komentar ini, hal yang bisa kita lihat adalah, ternyata ada beberapa orang Islam merasa bersyukur dan mendukung atas peralihan agama itu, yang biasa kita sebut dengan murtad. Menurut komentar mereka, perpindahan ini patut disyukuri dan didukung sebab riwayat kehidupan sang tokoh selama ini dianggap selalu menyudutkan agama Islam.
Tentang keputusan sang tokoh yang lebih memilih keluar dari Islam setelah 70 tahun dia anut tidak akan dibahas. Sebab keputusan murtad itu sudah diambil dengan mantap dan barangkali dia tahu segala konsekuensinya. Kita akan lebih fokus pada tanggapan orang-orang yang malah menyukuri kemurtadan orang lain. Tidakkah sikap ini adalah bentuk rasa rida terhadap kekufuran yang malah berakibat fatal pada diri mereka sendiri? Sebab ar-ridha bil-kufri kufrun (meridai kekufuran juga akan berakibat kufur). Ini adalah wilayah abu-abu yang harus diperjelas agar orang-orang tidak terjerumus dalam kubangan lumpur kufur, tanpa mereka sadari.
Murtad Jalur Tidak Sadar
Ada banyak jalan menuju murtad. Sebagaimana dalam kitab Sulamut-Taufiq hlm. 50, murtad terbagi menjadi tiga; 1) Murtad karena keyakinan, 2) Murtad karena perkataan, dan 3) Murtad karena perbuatan. Masing-masing memiliki contoh dan pemaparan panjang.
Dari tiga pembagian ini, ada beberapa penyebab murtad yang jelas dan terang bederang kalau itu menyebabkan murtad. Ada juga yang tidak terlalu jelas. Alias, perilaku itu kadang dilakukan dengan santai, tapa diketahui ternyata di dalamnya mengandung sebab kafirnya diri sendiri.
Mengetahui hal semacam ini menjadi sangat penting, kata Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab az-Zawâjir an-Iqirâfil-Kabâir juz 1 hlm. 43, sebab orang yang melakukan sesuatu yang menyebabkan kafir, semua amalnya tidak berguna dan dia wajib mengkadai semua amal wajib, baik yang dia lakukan atau tidak dia lakukan.
Para ulama sepakat, salah satu hal yang bisa menyebabkan murtad adalah rida kepada kekufuran. Kesepakatan ini dihasilkan dari pemahaman kepada ayat:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ اَنْ اِذَا سَمِعْتُمْ اٰيٰتِ اللّٰهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَاُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖٓ ۖ اِنَّكُمْ اِذًا مِّثْلُهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ جَامِعُ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْكٰفِرِيْنَ فِيْ جَهَنَّمَ جَمِيْعًاۙ
Dalam Tafsîr Mafâtîhil-Ghaib juz 5 hlm. 415, Imam Fakhrud-Din ar-Razi ketika menafsiri ayat ini mengatakan, “Ahlul-Ilmi berkata, ‘Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang rida terhadap kekufuran otomatis juga akan menjadi kafir’.”
Dalam al-I’lâm bi Qawâthi’il-Islâm hlm. 100, Imam Ibnu Hajar al-Haitami memberi tambahan penjelasan bahwa meridai kekufuran menjadi penyebab kafir, walau hanya sekadar tersirat. Misalnya ada orang kafir meminta orang lain untuk menuntun dia mengatakan kalimat syahadat, tetapi dia tidak mau dan berkata, “Tunggu sebentar, ya. Saya mau menyelesaikan kesibukan saya terlebih dahulu.” Memang tidak ada kata yang jelas seperti “Saya meridai kekufuran kamu,” tetapi sikapnya yang tidak mau memberikan bantuan agar bisa secepatnya masuk Islam, ditengarai sebagai rida kepada kekufuran.
Dengan berlandaskan perkataan ulama, jika tersirat saja sudah bisa menyebabkan kafir, lalu bagaima dengan yang jelas-jelas bersyukur dan mendukung kemurtadan orang lain?
Dalam kitab Is’âdur-Râfiq hlm. 105, dijelaskan, apa yang kita tulis, hukumnya sama dengan apa yang kita katakan. Perkataan yang menyebabkan murtad, ketika ditulis juga akan akan berdampak sama. Karena itu, sikap hati-hati dalam menaggapi segala hal harus dikedepankan, terutama di media sosial.
Sudah lelah-susah melaksanakan kewajiaban agama, ternyata tidak dianggap memenuhi kewajiban hanya karena komentar berlebihan dan ceroboh yang terus bertengger di media sosial. Itu pun orang yang bersangkutan masih santai dan belum sadar. Wal-iyâdz billâh.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id