Pertanyaan:
Dalam sebuah hadis diterangkan:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِيْ? قَالَ: فِي النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
“Salah seorang shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ Nabi Muhammad menjawab, ‘Di neraka.’ Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi Muhammad memanggilnya lalu berkata, ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.” (HR Muslim).
Pertanyaannya, benarkah orang tua Rasulullah di neraka? Kalau tidak, bagaimana mengenai hadis tersebut?
Hamba Allah | 08135412xxxx
Jawaban:
Menurut jumhur ulama, orangtua Nabi Muhammad ahli surga dengan tiga alasan:
Pertama, sebab orang tua Nabi termasuk Ahlul–fatrah, yakni orang-orang yang hidup di masa kekosongan antara dua masa rasul. Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri menerangkan:
أَنَّ أَهْلَ اْلفَتْرَةِ –بِفَتْحِ اْلفَاءِ– وَهُمْ مَنْ كَانُوْا بَيْنَ أَزْمِنَةِ الرُسُلِ
“Ahlul-fatrah -dengan fa’ berharakat fathah- adalah mereka yang hidup antara dua masa rasul.” (Tuhfatul–Murid hlm. 21)
Ahlul-fatrah ini jelas masuk surga. Sebab ada dalil qath’i dari al-Qur’an surah al-Isra’ ayat 15 yang berbunyi:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
“Kami tidaklah menyiksa sebelum kami mengutus seorang utusan.” (Al-Isra’ [17]: 15)
Membaca poin pertama, mungkin Wahabi akan berdalih gini: “Kata siapa semua Ahlul-fatrah masuk surga? Ada beberapa Ahlul-fatrah yang masuk neraka sesuai sabda Nabi, seperti Imru’ul-Qais, Hatim ath-Tha’i dan beberapa ayah para shahabat yang lain. Maka bisa jadi orangtua Nabi masuk pada golongan Ahlul-fatrah yang masuk neraka!”
Ada beberapa poin untuk menjawab dalih demikian: Pertama, hadis yang menyatakan sebagian ayah sahabat masuk neraka adalah hadis ahad, dan hadis ahad tidak bisa menetang dalil qath’i yang berupa surah al-Isra’ ayat 15 di atas.
Imam Nawawi dalam Syarhul-Muhaddzab, juz: 4 halaman 342, mengatakan:
وَمَتَى خَالَفَ خَبَرُ الْاَحَادِ نَصَّ الْقُرْاَنِ اَوْ اِجْمَاعًا وَجَبَ تَرْكُ ظَاهِرِهِ
“Ketika hadis ahad bertentangan dengan nas al-Qur’an atau ijmak maka wajib meninggalkan zahirnya“ (Syarh Al-Muhadzdzab, juz :4 hal: 342)
Kedua, anggaplah kita terima hadis itu, maka boleh saja Allah menyiksa orang yang ia kehendaki; siapapun itu. Sedangkan untuk kedua orang tua Nabi, mereka bukanlah golongan Ahlul-fatrah yang masuk neraka. Sebab, selain karena tidak ada nas sharih yang menyatakan demikian, juga karena ada pendukung-pendukung kuat berikutnya yang membuktikan bahwa kedua orang tua Nabi ahli surga.
Ketiga, jika meraka (Wahabi) menambahkan dalil hadis “إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ” sebagai penguat bahwa orangtua Nabi termasuk Ahlul-fatrah yang masuk neraka maka yang perlu diketahui bahwa maksud “أَبِي” dalam hadis tersebut bukan bermakna ayah, melainkan paman. Sebagaimana Azar adalah paman Nabi Ibrahim, bukan ayahnya. Sebab nama Ayah Ibrahim adalah Tarikh. (Masalikul-Hunafa fi Walidail-Musthafa)
Lafaz “أب” dalam kaidah Bahasa Arab memiliki tiga arti; ayah, paman, dan kakek. Ini terbukti langsung dengan firman Allah yang berbunyi:
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu; Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Al-Baqarah [02]: 133)
Dalam ayat barusan, “آبَاء” yang merupakan jamak dari lafaz “أب” memiliki tiga arti; kakek (Ibrahim), paman (Ismail) dan ayah (Yakub).
Kedua, kedua orang tua Nabi tidak mungkin syirik, sebab keduanya ada dalam agama hanifah, sebagaimana agama buyutnya; Nabi Ibrahim. Al-Qur’an dan hadis memperkuat hal ini. Adapun nas al-Qur’an yang menunjukkan orang tua Nabi termasuk orang yang suci adalah surah asy-Syuara’ ayat ke 218-219 yang berbunyi:
الَّذِيْ يَرٰىكَ حِيْنَ تَقُوْمُ * وَتَقَلُّبَكَ فِى السّٰجِدِيْنَ
“Yang melihat engkau ketika berdiri dan perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (asy-Syuara’ [42]: 218-219 )
Imam as-Suyuthi dalam kitab Masalikul-Hunafa fi Walidail-Musthafa mengutip sebuah pendapat bahwa makna dari ayat tersebut adalah nur Nabi berpindah dari sulbi orang yang ahli sujud kepada ahli sujud yang lain.
Sedangkan hadis Nabi, berikut riwayat dari Abu Nu’aim:
لَمْ يَلْتَقِ اَبَوَايَ قَطُّ عَلَى سِفَاحٍ لَمْ يَزَلِ اللهُ يَنْقُلُنِي مِنَ الأَصْلاَبِ الطَّيِّبَةِ إِلَى الْأَرْحَام الطَّاهِرَةِ مُصَفًّى مُهَذَّبًا لَا تَتَشَعَّبُ شُعْبَتَانِ إِلَّا كُنْتُ فِي خَيرِهِمَا
“Kedua orang tuaku tidak pernah berzina. Allah terus-menerus memindahkanku dari sulbi yang baik ke dalam rahim yang suci. Tidak lahir dua kabilah (Madinah atau Qurais) kecuali aku berada dalam yang terbaik.“
Ketiga, kedua orang tua Nabi ahli surga karena ada hadis dari Sayidah Aisyah yang berbunyi:
حَجَّ بِنَا رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حجة الوَدَاع ،فَمَرَّ بِيْ عَلَى عقبَة الحجون وَهُوَ بَاكٍ حزين مغتم ، فَبَكَيْتُ لِبُكَاءِ رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،ثُمَّ إِنَّهُ نَزَلَ فَقَالَ: يَا حُمَيْرَاء اِسْتَمْسِكِيْ، فَاسْتَنَدَّ إِلَى اْلبَعِيْرِ فَمَكَثَ عَنِّيْ طَوِيْلاً، ثُمَّ إِنَّهُ عَادَ إِلَيَّ وَهُوَ فَرَحٌ مُبْتَسَمٌ، فَقُلْتُ لَهُ: بِأَبِيْ أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُوْل الله، نَزَلْتَ مِنْ عِنْدِيْ وَأَنْتَ حَزِيْنٌ مُغْتَمٌّ فَبَكَيْتُ لِبُكَائِكَ، ثُمَّ إِنَّكَ عُدْتَ إلَيَّ وَأَنْتَ فرح مُبْتَسَمٌ، فلمَذَا يَا رسول الله ؟ فَقَالَ: ذَهَبْتُ لِقَبْرِ أُمِّيْ آمِنَة فَسَأَلْتُ اللَهَ أَنْ يُحْيِيَهَا فَأَحْيَاهَا، فآمنت بِيْ وَرَدَّهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Nabi melakukan Haji Wada’ dengan kita. Lantas beliau menangis ketika melewati Aqabatul-Hajun. Aku pun juga ikut menangis karena Rasul menangis. Lalu beliau turun dari untanya dan berkata, ‘Humaira! Berhentilah.’ Beliau pun menyandarkan diri pada untanya dan membiarkanku dalam waktu lama. Tak lama, beliau kembali dengan wajah gembira. Aku pun bertanya, ‘Demi ayah dan ibuku, Rasul. Anda tadi turun dalam keadaan sedih maka aku pun bersedih. Lalu Anda kembali lagi dalam keadaan tersenyum. Mengapa Rasul?’ Nabi menjawab, ‘Aku berziarah ke makam ibuku, Aminah. Aku pun meminta kepada Allah agar menghidupkannya, Ia pun mengabulkan doaku. Lantas ibuku beriman kepadaku. Setelah itu Allah mencabut nyawanya kembali.”
Sebagian ulama ada yang mengatakan hadis tersebut maudhu’ juga ada yang mengatakan daif, namun yang paling kuat, hadis ini adalah daif. (Masalikul-Hunafa fi Walidail-Musthafa hlm: 69)
Imam as-Suyuthi mengutip perkataan Imam al-Qurthubi berikut:
“Imam al-Qurthubi berkata: ‘Tidaklah bertentangan hadis Allah menghidupan kembali orang tua Nabi dengan hadis Allah melarang Nabi memohonkan ampun untuk kedua orang tuanya. Sebab hadis pertama (ihya’) ada setelah hadis kedua (istighfar lahuma) dengan bukti bahwa Sayidah Aisyah berkata ‘Hadis ihya‘ terjadi saat haji Wada’. Oleh karena itu Ibnu Syahin menjadikan hadis ihya‘ sebagai nasikh dari hadis istighfar lahuma.”
Pun, tak sedikit ulama yang menyatakan bahwa orang tua Nabi ahli surga dengan landasan hadis ini, sebagian besar dari mereka adalah ahli hadis. Mereka adalah Imam Ibnu Syahin, Imam Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi, Imam Suhaili, Imam al-Qurthubi, Imam Thabari, Imam Nasirudin bin al-Munir dll.
Ghazali | Annajahsidogiri.id