Tradisi Maulid merupakan tradisi yang sudah berkembang sejak paruh abad keenam Hijriah. Tepatnya, pada masa al-Malik Muzhaffar; adik ipar dari Shalahuddin al-Ayyubi. Sampai saat ini, maulid terus dirayakan oleh mayoritas umat Muslim di seluruh dunia. Beberapa ulama sekelas al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani dan al-Hafiz as-Suyuthi sudah memfatwakan positif mengenai maulid ini. Bahkan, Imam as-Suyuti mengarang kitab khusus yang menerangkan tentang maulid, yaitu kitab Husnul-Maqashid fî ‘Amalil-Maulid. Hanya segelintir orang yang tidak mau melaksanakan tradisi yang sudah dianggap baik oleh mayoritas ulama ini. Kelompok anti maulid ini banyak memunculkan celoteh-celoteh (syubhat) untuk menolak maulid. Berikut kami paparkan celoteh-celoteh mereka beserta jawabannya.
1. Biasanya mereka berujar “Katanya mencintai Nabi Saw, kok beribadah tanpa perintah Nabi?”
Perlu diketahui bahwasanya maulid merupakan tradisi yang ada di masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam as-Suyuthi, tradisi ini muncul pada masa Sultan Muzhaffar penguasa Irbil (suatu tempat di Irak Timur) (Husnul-Maqashid fî ‘Amalil-Maulid, hal.7 ). Setiap tahun sultan ini mengeluarkan biaya sebesar 300.000 dinar untuk perayaan maulid. Sedangkan menurut Abu Sa’id al-Qakburi gubernur Qirbil, Irak, maulid Nabi ada pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi. Hal ini ditujukan untuk membangkitkan persatuan umat Islam pada masa perang salib. Jadi sekali lagi maulid adalah tradisi (adat). Kemudian, isi yang ada di dalam maulid adalah ibadah-ibadah mutlak yang jelas diperintahkan oleh Rasulullah Saw. seperti pembacaan shalawat, sirah nabawiyah dan sedekah. Berikut kami tampilkan penjelasan lengkap beserta dalil-dalil para ulama yang menganggap maulid sebagai hal positif.
Seperti yang penulis sampaikan di atas, maulid merupakan adat atau tradisi. Sehingga perspektif yang dipakai oleh golongan anti maulid itu sudah salah. Yaitu dengan menganggap maulid sebagai ibadah. Lantas, pertanyaan yang muncul di benak mereka adalah kenapa beribadah tanpa perintah nabi? Jadi, jelas mereka telah gagal paham mengenal maulid.
Kemudian, dalam menghukumi tradisi, kita lihat apa yang ada di dalam perayaan maulid, bertentangan dengan syariat atau tidak? Setelah ditelusuri, ternyata yang ada di dalam maulid nabi adalah penyajian kisah-kisah Rasulullah Saw, membaca salawat dan bersedekah. Dan ini jelas disyariatkan oleh Rasulullah Saw. Coba kita perhatikan dalil di bawah ini.
Baca juga: Memahami Hukum dan Sejarah Maulid Nabi
Mengenai pembacaan kisah-kisah para rasul, Allah ٍSwt berfirman dalam QS. Hud: 120:
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa penyajian kisah-kisah para nabi adalah untuk meneguhkan hati Nabi Saw. Dan barang tentu kita yang lemah ini lebih membutuhkan peneguhan hati melalui penyajian sirah dan biografi beliau.
Kemudian untuk bersalawat, kita sangat dianjurkan melakukannya dengan dalil:
[إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [الأحزاب: 56
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzâb [33]: 56).
Ayat tersebut memerintahkan kita untuk memperbanyak salawat kepada Nabi. Jadi jelas kita melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh Nabi.
Terakhir adalah mengenai sedekah. Kami rasa, kami tidak perlu membahas panjang lebar mengenai dalil dalam bersedekah ini. Karena dalil mengenai bersedekah sangatlah banyak. Dan sedekah diterima kapanpun dan di manapun. Nah, agar bisa selalu istiqamah setiap tahun, kita selalu bersedekah di hari perayaan maulid (12 Rabiul Awal). Lebih tepatnya, karena kita sangatlah bergembira dengan kelahiran Baginda Nabi Saw.
Baca juga: Cinta dan Bahagia dalam Bingkai Maulid Nabi
2. Mereka sering gagal paham mengenai ibadah.
Termasuk dari kesalahan fatal mereka adalah mereka telah gagal paham mengenai apa yang dimaksud ibadah. Pasti mereka akan berceloteh “Kok berani-beraninya kamu mengkhususkan waktu untuk bersalawat hanya pada saat maulid. Mana dalilnya? Nah, dalam poin ini kita akan membahas apakah benar kita telah membuat ibadah baru dengan menentukan pembacaan maulid pada malam 12 Rabiul Awal? Let’s check it out!
Ibadah jika ditinjau pada aspek waktunya terbagi menjadi dua. Pertama, ibadah yang waktunya ditentukan seperti salat, puasa dan lain-lain. Kedua, adalah ibadah yang waktunya mutlak atau bebas, di mana usia manusia menjadi waktu untuk melaksanakannya. Seperti membaca al-Quran, belajar agama, zikir, membaca salawat dan lain-lain. Kemudian mari kita bahas seperti apakah ibadah yang dimaksudkan oleh syariat? Apakah perayaan maulid adalah ibadah? Sebenarnya, dengan memperhatikan contoh-contoh yang ditampilkan oleh para ulama kita bisa memahami apa ibadah yang dimaksudkan oleh syariat. Seperti yang dicontohkan oleh al-Hâfiz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul-Bari-nya. Beliau mencantumkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِيْ الْعِبَادَةِ التَّوَقُّفُ
“Asal dari semua perkara ibadah adalah Tawaquf”
Ketika beliau membahas tentang rakaat Shalat Duha. Tepatnya, di bab Shalat Duha di perjalanan (Fathul-Bârî juz 4, hal. 173). Jadi, yang dimaksud ibadah yang sesungguhnya adalah ketika berkaitan dengan shalat, haji, puasa, dan lain sebagainya. Sehingga, berbuat sesuatu yang baru dari perkara-perkara tersebut (seperti membuat shalat baru) maka tidak diperbolehkan. Sekarang, apakah Maulid masuk dalam konteks ini? Ternyata tidak, maulid bukan ibadah seperti yang telah dicontohkan di atas. Akan tetapi maulid pada dasarnya adalah adat atau tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Sehingga, kita harus melihat apa yang ada di dalamnya. Bertentangan dengan syariat atau tidak? Jika tidak, berarti hukum asalnya adalah mubah. Nah, kemudian ketika ditinjau pada apa yang ada di dalamnya, ternyata isinya berupa ibadah yang sifatnya mutlak atau tidak memiliki waktu, seperti salawat, pembacaan sirah, dll, yang bertujuan untuk mensyukuri nikmat Allah Saw kepada kita berupa lahirnya Rasulullah Saw. Maka kesimpulannya ketika dikaitkan dengan kaidah fikih:
الوسائل لها حكم المقاصد
“Wasilah atau sarana itu mengikuti hukum tujuannya”
Berarti hukumnya sunah. Sampai disini, biasanya mereka akan berceloteh, “Anda telah menetapkan ibadah mutlak pada waktu tertentu berarti tetap bidah dong!”. Maka jawabannya adalah penetapan ulama atau umat Islam terhadap ibadah mutlak seperti membaca salawat pada saat malam 12 Rabiul Awal tidak kemudian mengubahnya menjadi ibadah yang waktunya tertentu. Penetapan waktu secara tertentu tersebut dimaksudkan agar dapat dilakukan secara istiqomah setiap tahun. Dan ini sesuai dengan hadis Nabi:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ رواه البخاري
“Amal kebajikan yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang dilakukan secara terusmenerus oleh seorang hamba meskipun sedikit.” (HR. Imam al-Bukhari)
3. Menganggap pujian-pujian kepada Nabi sebagai bidah tercela.
Dalam poin ini pasti mereka akan berceloteh “Salawat versi mana yang kamu pakai? Kamu hanya mengada-ngada”. Sebenarnya, pola berfikir mereka tidak sulit dibaca. Karena syubhat yang mereka lontar selalu sama. Berikut kami tampilkan dalil-dalil jawaban celoteh yang dilontarkan oleh pemikir wahabi tadi.
Secara redaksional dalam ayat atau hadis yang menganjurkan salawat seperti (QS. Al-Ahzâb [33]:56) dan HR. at-Tirmidzi 314, anjuran untuk membaca salawat bersifat umum. Berarti, dalam redaksi apapun; baik yang diajarkan oleh rasulullah ataupun tidak. Hal ini sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat dan telah diriwayatkan oleh banyak ulama hadis seperti al-Hafiz as-Sakhawî dalam al-Qaulul-Badî’ atau dalam karya yang ditulis oleh ulama panutan Wahabi; Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Jalâul-Afhâm. Coba kita perhatikan hadis yang ada dalam kitab karya Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyah berikut:
Sahabat Ibnu Mas’ûd berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” إذا صليتم علي رسول الله e فأحسنوا الصلاة ، فإنكم لا تدرون لعل ذلك يعرض عليه، فقالوا له:فعلمنا, قال: قولوا: اللهم اجعل صلواتك وورحمتك وبركاتك على سيدِ المرسلين وإمامِ المتقين وخاتمِ النبيين محمدعبدِك ورسولِك إمامِ الخيرِ وقائدِ الخيرِ ورسولِ الرحمةِ ، اللهِم ابعثْه مقامًا محمودًا يغبطُه به الأولون والآخرون.
“Rasulullah bersabda: “Apabila kalian bersalawat kepada Rasulullah e, maka buatlah redaksi salawat yang bagus kepada beliau, siapa tahu salawat kalian itu diberitahukan kepada beliau.” Mereka bertanya: “Ajari kami cara salawat yang bagus kepada beliau”. Beliau menjawab: “Katakan, ya Allah jadikanlah segala salawat, rahmat dan berkah-Mu kepada sayid para Rasul, pemimpin orang-orang yang bertakwa, pemungkas para nabi, yaitu Muhammad hamba dan rasul-Mu, pemimpin dan pengarah kebaikan dan rasul yang membawa rahmat. Ya Allah anugerahilah beliau makam terpuji yang menjadi harapan orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian” (Jalâ’ul-Afhâm hal. 36 dan hal. 72 hadis ini juga disahihkan oleh Ibnu al-Qayyim).
Hadis ini memberikan kita beberapa kesimpulan. Pertama, anjuran membaca salawat kepada Baginda Nabi Saw dengan redaksi yang baik yang tidak diajarkan oleh Baginda Saw, seperti yang telah dicontohkan oleh sahabat Ibnu Mas’ûd di atas. Kedua, hadis tersebut menunjukan bahwa Rasulullah Saw masih hidup di alam barzakh dan mengetahui salawat yang kita baca terhadap baginda. Ketiga, memuji dan mengagungkan Baginda Rasulullah Saw dalam bacaan salawat bukan termasuk perbuatan bidah yang tercela, karena hal ini tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam asy-Syafiî (diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Manâqibusy-Syâfiî). Bahkan, ini adalah perbuatan yang terpuji karena kita bukan hanya meneladani Ibnu Mas’ud dalam memuji nabi Saw. Akan tetapi kita juga meneladani al-Quran al-Karim yang banyak memberikan pujian kepada Baginda Nabi Saw dalam rangkaian ayat-ayat-Nya.
Karena space yang terbatas, kita cukupkan artikel ini sampai di sini saja. Dan insyaallah kita akan melanjutkannya pada artikel berikutnya. Wallahu A’lâm. To be continued…
Abdul Muid*
*Penulis adalah salah satu anggota LITBANG ACS,
Redaksi Tauiyah dan Aktivis KOMUBA