Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan pluralisme agama, tidak banyak yang protes, kecuali beberapa gelintir penganut pluralisme liberal. Sayang, protes itu tidak ditanggapi Majelis Ulama Indonesia dengan penjelasan yang ilmiah, detail dan dapat dipertahankan. Mungkin itulah sebabnya yang protes itu kini terus mengembangkan paham ini melalui berbagai proyek. Untuk itu penjelasan mengenai apa hakikat pluralisme agama itu perlu dihadirkan sekali lagi.
- PENGARUH PLURALISME DALAM IDEOLOGI
Pluralisme agama berarti semua agama sama-sama valid. Jika demikian maka akan terjadi relativisme moral dan ketidakberatan etika (ethical chaos). Para peneliti menemukan bahwa pluralisme agama melemahkan keterlibatan masyarakat dalam agama. Penelitian Finke dan Strak (1998) menyimpulkan bahwa pluralisme menghilangkan kegairahan beragama. Ketika negara atau lembaga publik tidak lagi mengorbankan kebaikan suatu agama, maka pemeluk agama-agama itu akan kehilangan kualitas dan intensitas keimanan atau kepercayaan pada agamanya. Akibatnya, keterlibatan masyarakat pada agama menjadi turun.
Pluralitas agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin peradaban Barat post-modern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme Nietzche, tokoh filosof Barat Postmo.
Jika cara berpikir pluralisme berupa menyamakan semua agama, tentu Islam menolak mentah pemikiran seperti itu. Surat-surat Nabi SAW yang mengajak raja Romawi, Persia, Ethiopia dan lain-lain untuk masuk Islam bertentangan dengan doktrin pluralisme. Jika doktirn pluralisme agama harus megakui kebenaran agama lain dan Islam hanya mengakui Islam saja yang paling benar di sisi Allah, maka Islam adalah agama yang ekslusif secara teologis.
Biasanya cendekiawan Muslim pembela doktrin pluralisme agama menggunakan al-Ma’idah 69 dan al-Baqarah 62 untuk menjustifikasi doktrin tersebut. Al-Ma’idah 69 berbunyi, “Sesunggguhnya orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”. (Bandingkan dengan al-Baqarah 62)
Baca Juga: “Liberalisme Agama: Fenomena Baru di Dunia Liberal”
Ayat di atas dapat dipahami sebagai membenarkan agama-agama Yahudi, Kristen dan Sabiin, seperti Budha, Konghucu dan sebagainya dalam kategori ini. Alasannya karena Sabiin adalah agama penyembah bintang-bintang alias musyrik. Namun jika dilihat dari sibaq dan siyaq ayat tersebut maka penafsiran tidak tepat. Sebelumnya (pada al-Ma’idah 65) disebutkan bahwa, “Jika orang-orang Ahlul Kitab beriman dan bertakwa (kepada Allah) akan kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga”.
Kata jika (law anna) adalah pra-kondisi yang berarti bahwa Ahlul Kitab itu tidak beriman kepada Allah SWT. Selanjutnya (pada ayat 67) disebutkan bahwa Ahlul Kitab itu tidak berarti apa-apa jika tidak menjalankan apa yang ada dalam Kitab Taurat dan Injil.
Sudah tentu ini bukan Taurat dan Injil (Bible) yang ada sekarang. Sebab Kitab-Kitab itu dalam pandangan Islam tidak asli lagi. Jika yang dimaksud adalah Bible, maka implikasinya bahwa Trinitas dalam Bible itu diterima al-Quran. Padahal pada ayat 72 dan 73 disebutkan bahwa Ahlul-Kitab yang percaya Trinitas adalah kafir. Apa yang dimaksud ayat itu adalah ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang membawa konsep tauhid.
Oleh sebab itu, kajian al-Baydhawi menunjukkan bahwa ayat itu merujuk kepada Ahlul Kitab sebelum datangnya Islam . Dan karena kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh). Ini bearti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini telah mansukh.
Ini diperkuat oleh al-Thabari bahwa surat al-Baqarah 62 dan al-Ma’idah 69 itu telah di-mansukh oleh surah Ali Imran ayat 85: “Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhaili dan mufassir lainnya.
Jadi, jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan kebenaran agama lain, Islam jelas menolak pluralisme. Logikanya, jika Islam mengakui kebenaran agama lain, mengapa Islam mengajak agama lain masuk Islam? (Lihat an-Nahl 125). Mengapa pula Nabi SAW. sendiri mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclius, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia Najasyi masuk Islam?
Jika pluralisme melarang adanya klaim kebenaran atau mengagap agamanya paling benar sendiri tentu Islam tidak masuk kategori agama yang pluralistis. Apa yang dibawa Islam adalah melengkapi kitab-kitab yang datang sebelumnya. Bahkan lebih dari itu, Islam juga menyalahkan penyelewengan yang dilakukan pengikut kitab-kitab (Ahlul-Kitab).
Baca Juga: “Islam Agama Ekslusif”
Meskipun Islam tidak mengandung ajaran yang pluralitas, namun Islam adalah agama yang memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali-Imran 20, al-Kafirun 2-6, menunjukkan bahwa Islam adalah ekslusif tapi tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. An-Nahl 125 juga menunjukkan cara-cara yang beradab dalam berdakwah, yaitu tidak ada paksaan dan kekerasan ataupun tipu daya. Meskipun banyak lagi ayat-ayat toleransi dalam al-Quran.
Dalam sejarahnya, Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika di bawah kekuatan Islam. Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan secara damai. Di Cordoba umat Islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tapi sesudah Kerajaan Bani Umayyah jatuh, orang-orang Kristen Barat mengusir umat Islam secara biadab. Mereka tidak mempunyai ajaran toleransi. Bahkan orang-orang Kristen yang dekat dengan orang-orang Islam dirazia oleh tim inquisisi Kristen.
Demikian pula ketika Islam masuk ke Persia, kekaisaran di sana sangat lemah dan tercabik-cabik, sehingga kedatangan Islam memebrikan solusi bagi persolan politik di sana. Pada tahun 700-an ketika Quthaibah bin Muslim menjabat Gubenur Khurasan, ia dengan damai meluaskan kawasan Muslim ke Bukhara, Samarkand, dan ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.
Begitulah, meskipun Islam adalah agama misi, tapi ia tetap berpegang pada prinsip la ikraha fid-din (Tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Peperangan memang terjadi antara bala tentara Islam dan daerah yang dimasuki mereka. Namun Islam tidak memerangi penganut agama lain agar mereka masuk Islam. Jadi, Islam bertentangan dengan prinsip pluarisme agama, tapi memiliki rasa toleransi yang tidak ada bandingnya
- PENGARUH PLURALISME DALAM SOSIAL
Dalam konsep sosiologi, pluralisme sangat membahayakan terhadap keberlangsungan hidup. Dengan adanya pluralisme, masyarakat (Muslim atau bukan) akan menjadikan agama hanya sebagai casing belaka, dengan artian tidak mempedulikan agama. Orang Islam akan malas beribadah akibat pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama itu relatif. Begitu juga dengan orang-orang Kristen, mereka akan tidak semangat lagi untuk pergi ke gereja.
Pluralisme juga akan mendoktrin masyarakat menjadi pemikir bebas. Menganggap al-Quran dan Hadis hanya sebatas tulisan dalam kertas. Bila demikan, secara otamatis syariat Islam tidak akan berlaku lagi, orang-orang mudah melakukan maksiat, nikah lintas agama, gender, mengucapkan selamat Natal tidak dipermasalahkan dan lain sebagainya.