Pertanyaan-pertanyaan ihwal Allah, seringkali dilontarkan oleh orang awam. Padahal demikian itu sejatinya berbahaya bagi mereka. Karena bisa jadi, tanpa disadari, akan menjerumuskan pada lubang kekufuran. Di antara pertanyaan tersebut adalah terkait tempat Allah, “Apakah Allah bertempat? Jika ia, lantas di manakah keberadaan Allah? Apakah benar Allah ada di langit?” dan seterusnya. Tentu pertanyaan seperti ini memerlukan penjelasan yang benar-benar tepat, sebab khawatir malah menjerumuskan pada penyerupaan Allah terhadap makhluk. Oleh Karena itu, Ghazali dari Annajahsidogiri.id, mewawancarai Gus Abdul Wahab Ahmad selaku Wakil Sekretaris di LBM PWNU Jatim dan dosen Universitas IAIN Jember, beberapa waktu lalu untuk memberi penjelasan. Berikut hasil wawancara kami:
Benarkah pernyataan yang mengatakan bahwa Allah di atas?
Tafsil! Jika mengucapkan seperti itu bermaksud untuk mengagungkan Allah, maka tidak masalah. Malah ini merupakan istilah standar yang dipakai oleh al-Qur’an dan biasa diucapkan oleh kaum muslimin di manapun.
Dalam kitab ‘Aqîdah ath-Thahawiyah di sebutkan bahwa Allah sama sekali tak terliput oleh enam arah; atas, bawah, kanan, kiri, depan, dan belakang. Akan tetapi, secara teknis, karena manusia berarah, maka sulit untuk tidak menetapkannya, dan tentu arah yang paling layak bagi Allah adalah arah atas, karena arah lainnya tidak pantas. Misal mengatakan Allah di bawah maka akan mengikabatkan kufur, karena merendahkan. Ataupun arah samping, juga tidak pantas, karena melambangkan kesetaraan. Maka dari itu, boleh-boleh saja ungkapan masyarakan Indonesia, “Serahkan saja pada yang di atas”.
Bedahalnya jika mengatakan hal itu dalam rangka menetapkan ruang dan tempat bagi Allah, masalah! Bahkan menyimpang dari akidah Ahlusunah walJamaah.
Terkait statement Wahabi yang mengatakan Allah bertempat di atas dengan dalih Isra-Mikraj Nabi?
Ini adalah salah satu andalan pengikut Ibnu Taimiyah dalam menetapkan Allah di atas, termasuk Firanda. “Kalau Allah tak di atas, lantas buat apa Nabi Isra-Mikraj dalam rangka bertemu Allah ke atas?” Kata mereka.
Jadi sebenarnya ini kesalahan mereka yang tidak membaca kisah Isra-Mikraj secara lengkap. Nabi Isra-Mikraj bukan untuk bertemu Allah, melainkan melihat tanda-tanda kebesaran Allah (لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا).
Memang benar, Nabi Muhammad dalam kisah Isra-Mikraj juga menerima wahyu. Hanya saja, apakah penerimaan wahyu di atas juga berarti Allah di atas? Tidak! Nabi menerima wahyu di atas karena itu perintah Allah untuk menerimanya di atas, bukan karena Allah di atas.
Lantas, bagaimana hukum mengucapkan Allah di atas? Apa sampai berkibat kufur?
Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, kalau mengatakan demikian sebagai bentuk mengagungkan, maka boleh mutlak. Tapi jika mengatakannya untuk menetapkan tempat dan ruang bagi Allah, ini akan berakibat murtad.
Imam Izuddin menjelaskan panjang-lebar terkait hal ini. Kata beliau, memang ada sebagian ulama yang menetapkan hukum kafir secara mutlak pada orang yang mengatakan bahwa Allah di atas. Tapi kalau beliau sendiri memerincinya. Sebab kadangkala orang mengucapkan demikian bukan karena mau menetapkan Allah di atas, maka dalam hal ini, kita tidak bisa menghukuminya kafir.
Ghazali | Annajahsidogiri.id