Norma Pertunangan Masyarakat
Hari-hari spesial seperti Hari Raya Idul Adha, Idul Fitri, Maulid, dan lainnya terkadang menurut sebagian masyarakat menjadi hari yang tepat—bagi mereka yang mempunyai ikatan pertunangan— untuk saling mengunjungi satu sama lain, baik dari pihak laki-laki atau perempuan. Biasanya, pihak laki-laki akan menjemput dulu pihak perempuan. Selain untuk silaturahmi, pihak laki-laki juga akan membawa si perempuan ke rumahnya untuk bersilaturahmi balik.
Baca Juga: Cara Islam Memuliakan Wanita
Tanpa ada yang tahu siapa yang memulai, kebiasaan ini kemudian menjelma menjadi adat dan ‘norma pertunangan’ masyarakat. Siapa pun yang melanggar atau tidak melakukannya. dia akan merasa ada tanggungan moral yang belum ditunaikan. Puncaknya, meski kadang tidak ada yang menegurnya dengan tegas, perasaan tidak enak cenderung menguasainya. Atau bisa jadi, dia malah menikmati tradisi ini. Karena merasa yakin bahwa orang yang menjadi tunangan dia kini, kelak pasti akan menjadi istrinya. Sehingga dia berani melakukan hal-hal yang tidak wajar untuk ‘ukuran’ pertunangan. Parahnya, terkadang orang tua dari kedua belah pihak tidak peduli dan menganggap hal itu biasa-biasa saja.
Bagaimana Syariat Menilai?
Dalam Nihâyah al-Muhtâj (6/198) dijelaskan bahwa hukum khitbah menurut sebagian ulama itu mustahab/ sunah. Selain itu, juga disunahkan melihat sebelum dan ketika khithbah, pada calon istri hanya sebatas wajah dan telapak tangan, tidak lebih (Mughnî al-Muhtâj 6/554). Jika sampai sampai menyentuh jelas syariat menilai hal ini haram (Majmû’ fî Syarhi al-Muhadzdzab 10/109). Bagaimana pun, perempuan yang sudah dilamar masih berstatus ajnabiyyah (perempuan yang bukan mahram), bukan zaujah (istri).
Solusi
Tidak semua adat bisa dibenarkan. Syariat Islam datang agar menjadi patokan setiap perilaku umat Islam. Solusi yang sesuai syariat dan paling mungkin dilakukan adalah saling mengerti serta mengingatkan dari masing-masing pihak, baik keluarga, calon dan masyarakat setempat, bahwa bertunangan bukan menikah. Hal-hal yang diharamkan antara laki-laki dan perempuan tidak lantas menjadi halal hanya karena bertunangan. Ini penting dipahami oleh setiap umat Islam agar perilaku dan tindakan selalu sesuai dengan tuntunan dan tuntutan agama Islam.
Anggapan bahwa tuanangan pasti menjadi istri atau suami adalah anggapan yang salah. Anggapan ini seakan melupakan konsep dasar khithbah itu sendiri. Toh sekalipun sudah sangat jelas – karena beberapa faktor – bahwa tunangan akan menjadi istri/suami, aturan dalam khithbah melarang adanya tindakan yang melampaui batas. Terlebih tuanangan yang kelanjutan statusnya belum benar-benar jelas akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Wallâhu a’lam.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id
Comments 0