Tampaknya, Syekh al-Buthi tidak terlalu heboh dalam merespons ide-ide liberal yang dibangun dengan berlandaskan pada filsafat proses itu. Beliau juga tidak memandang filsafat proses sebagai sesuatu yang wow sama sekali. Alih-alih terkesima dengan itu, al-Buthi menganggap ide itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, bukan penemuan ilmiah istimewa yang pengetahuan tentangnya hanya bisa dijangkau oleh para filsuf dan ilmuwan tertentu saja. Bahkan siapapun yang berakal normal, lalu melakukan pengamatan sederhana terhadap unsur-unsur alam, mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil, akan menemukan bahwa materi-materi di alam raya ini larut dalam suatu proses, pergerakan, dan dinamikan yang terus-menerus.
Baca Juga: Filsafat Proses dan Syariat Islam dalam Pandangan al-Buthi (Bagian I) & (Bagian II)
Bahkan lebih dari itu, al-Quran senantiasa menggambarkan unsur-unsur materi di alam raya ini dalam model kurva melengkung, seperti setengah lingkaran, di mana segala sesuatu mengalami proses yang sama, mulai dari keberadaan yang lemah, lalu lambat laun bergeser menjadi semakin kuat dan semakin kuat, hingga pada saatnya ia akan kembali pada keadaan lemah seperti semula. Al-Quran memberikan contoh dan gambaran mengenai hakikat ini dalam banyak ayatnya, misalnya sebagai berikut:
Perhatikan bagaimana Allah menjelaskan keberadaan manusia yang larut dalam siklus ini: “Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.” (QS. Ar-Rūm: 54).
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya.” (QS. Al-Hajj: 5).
Perhatikan pula penjelasan Allah mengenai tetumbuhan yang senantiasa ada dalam proses dan dinakika yang sama: “Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.” (QS. Al-Hadīd: 20).
Jadi tidak keliru jika dikatakan bahwa al-Quran mengkonfirmasi kebenaran sistem proses (nizhām ash-shairūrah / becoming system) sebagaimana dijelaskan dalam filsafat proses itu. Namun berdasarkan penegasan sejumlah ayat al-Quran, al-Buthi memberikan catatan bahwa materi senantiasa larut dalam suatu dinamikan dan proses yang terus menerus (becoming system) itu jika dilihat dari keberadaannya sebagai himpunan dan satu kesatuan (majmū‘ul-kaun), bukan sebagai satuan atau individu-individu (jamī‘ul-kaun). Hal demikian karena masing-masing satuan dari materi di alam raya ini, setelah mengalami kondisi lemah, lalu kuat, lalu lemah lagi, pada akhirnya akan sirna, sebagaimana ditegaskan al-Quran: “Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS. Al-Qashash: 88).
Baca Juga: Epistemologi Barat vs Islam (Part I)
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa selain mengkonfirmasi filsafat proses secara umum, al-Buthi juga memberikan catatan penting yang absen dari para filsuf, baik yang kuno hingga yang modern. Selanjutnya, kita akan melihat kritik dan koreksi yang lebih mendalam dari al-Buthi terhadap para filsuf mengenai filsafat proses ini, yang akan penulis sajikan pada tulisan berikutnya, insya-Allah.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri